GERAKAN
ISLAM LIBERAL DI INDONESIA
A. PENDAHULUAN
Istilah Islam liberal tadinya tidak terlalu dikenal
dan diperhatikan orang di Indonesia. Apalagi jumlah pendukungnya hanya
minoritas yang amat kecil. Istilah itu justru menjadi amat populer setelah dikeluarkannya
fatwa MUI pada tahun 2005 yang menyatakan bahwa faham liberalisme adalah sesat
dan menganut faham itu adalah haram hukumnya. Jadi, terlepas dari perdebatan
tentang keabsahan fatwa itu, istilah Islam liberal di Indonesia justru
dipopulerkan oleh pihak penentangnya. Memang terkadang suara merekapun nyaring
bunyinya.
Arti kata Islam liberal tidak selamanya jelas. Leonard
Binder, seorang guru besar UCLA, ketika menulis buku berjudul Islamic
Liberalism (University of Chicago Press, 1988) memberinya arti “Islamic
political liberalism” dengan penerapannya pada negara-negara Muslim di Timur
Tengah. Mungkin di luar dugaan sebagian orang, buku itu selain menyajikan
pendapat Ali Abd Raziq (Mesir) yang memang liberal karena tidak melihat adanya
konsep atau anjuran negara Islam, tetapi juga membahas pikiran Maududi
(Pakistan) yang tentu saja lebih tepat disebut sebagai tokoh fundamentalis atau
revivalis.
Sebaliknya bagi Greg Barton, dalam bukunya berjudul
Gagasan Islam Liberal di Indonesia (Penerbit Paramadina, Jakarta, 1999) istilah
“Islamic liberalism” nampaknya cukup jelas. Dalam bukunya yang berasal dari
disertasi itu ia mengatakan bahwa Islam liberal di Indonesia adalah sama dengan
pembaruan Islam atau Islam neo-modernis. Selanjutnya, dalam penelitian yang
mengcover periode 1968-1980 itu, Barton membatasi diri pada pemikiran empat
orang tokoh dari kaum neo-modernis, yaitu Nurcholish Madjid, Djohan Effendi,
Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid.
Seperti diketahui, istilah neo-modernis berasal dari
Fazlur Rahman, seorang tokoh neo-modernis muslim asal Pakistan yang terakhir
menjadi Guru Besar studi keislaman di Universitas Chicago. Fazlur Rahman,
sebagaimana dikutip Greg Barton, membedakan gerakan pembaruan Islam dalam dua
abad terakhir kepada empat macam, yaitu: revivalisme Islam, modernisme Islam,
neo-revivalisme Islam, dan neo-modernisme Islam. Dengan revivalisme Islam
dimaksudkan gerakan pada abad ke-18 yang diwakili oleh Wahabiyyah di Arab,
Sanusiyyah di Afrika Utara, dan Fulaniyyah di Afrika Barat. Sedangkan
modernisme Islam di pelopori oleh Sayyid Ahmad Khan (W 1898) di India,
Jamaluddin al-Afghani (W 1897) di Timur Tengah, dan Muhammad Abduh (W 1905) di
Mesir. Adapun neo-revivalisme diwakili oleh Maududi dengan organisasinya yang
terkenal, Jama’ati Islami, di Pakistan. Kemudian neo-modernisme Islam contohnya
ialah Fazlur Rahman sendiri dengan karakteristik sintesis progresif dari
rasionalitas modernis dengan ijtihad dan tradisi klasik (Greg Barton, 1999:9).
Meskipun tipologi Fazlur Rahman ini dimaksudkan untuk seluruh dunia Islam,
tetapi tipologi keempat diwakili juga oleh tokoh-tokoh Indonesia, khususnya
empat orang yang disebutkan di atas.
Di Indonesia terdapat beberapa buku yang sering
dinilai sebagai pendapat kelompok Islam liberal, dua diantaranya ialah buku
Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (Jakarta, 2005) yang ditulis oleh Tim
Pengarusutamaan Gender pimpinan Musdah Mulia dan buku Fiqih Lintas Agama
(Jakarta: Paramadina, 2004). Kalau kita cermati isi kedua buku itu terlihatlah
bahwa banyak pendapat dan argumen di dalam kedua buku itu yang sama atau
mungkin diambil dari pikiran-pikiran Muhammad Syahrur, seorang sarjana teknik
Syria yang pernah belajar di Moskow, tetapi kemudian mengarang banyak buku
tentang Islam, diantaranya yang terkenal ialah Nahw Ushûl Jadîdah fî al-Fiqh
al-Islâmî yang telah diterbitkan juga dalam bahasa Indonesia dengan judul
Metodologi Fiqih Islam Kontemporer (Yogyakarta: eLSAQ, 2004). Ini berarti bahwa
pemikiran Islam liberal Indonesia bukanlah original, tetapi pengaruh literatur
internasional. Apalagi Fazlur Rahman memang adalah guru Nurcholish Madjid dan
mempunyai hubungan dengan kaum pemikir Islam Indonesia. Pemikir Timur Tengah
lain yang mempunyai pengaruh terhadap pemikiran Islam liberal di Indonesia
khususnya mengenai penggunaan hermeneutik untuk memahami Al-Qur’an adalah Hamid
Nasr Abu Zaid.
B. Islam Liberal di Indonesia (Era Orde Baru)
Sejak awal tahun 1970-an, bersamaan dengan munculnya
Orde Baru yang memberikan tantangan tersendiri bagi umat Islam, beberapa cendekiawan
Muslim mencoba memberikan respon terhadap situasi yang dinilai tidak memberi
kebebasan berpikir. Kelompok inilah yang kemudian memunculkan ide-ide tentang
“Pembaharuan Pemikiran Islam”. Kelompok ini mencoba menafsirkan Islam tidak
hanya secara tekstual tetapi justru lebih ke penafsiran kontekstual. Mereka
dapat digolongkan sebagai Islam Liberal dalam arti menolak taklid, menganjurkan
ijtihad, serta menolak otoritas bahwa hanya individu atau kelompok tertentu
yang berhak menafsirkan ajaran Islam.
Menurut Fachri Aly dan Bactiar Effendi (1986: 170-173)
terdapat sedikitnya empat versi Islam liberal, yaitu modernisme, universalisme,
sosialisme demokrasi, dan neo modernisme. Modernisme mengembangkan pola
pemikiran yang menekankan pada aspek rasionalitas dan pembaruan pemikiran Islam
sesuai dengan kondisi-kondisi modern. Tokoh-tokoh yang dianggap mewakili
pemikiran modernisme antara lain Ahmad Syafii Ma`arif, Nurcholish Madjid, dan
Djohan Effendi. Adapun universalisme sesungguhnya merupakan pendukung modernisme
yang secara spesifik berpendapat bahwa, pada dasarnya Islam itu bersifat
universal. Betul bahwa Islam berada dalam konteks nasional, tetapi
nasionalisasi itu bukanlah tujuan final Islam itu sendiri. Karena itu, pada
dasarnya, mereka tidak mengenal dikotomi antara nasionalisme dan Islamisme.
Keduanya saling menunjang. Masalah akan muncul kalau Islam yang me-nasional
atau me-lokal itu menyebabkan terjadinya penyimpangan terhadap hakikat Islam
yang bersifat universal. Pola pemikiran ini, secara samar-samar terlihat pada
pemikiran Jalaluddin Rahmat, M. Amien Rais, A.M. Saefuddin, Endang Saefudin
Anshari dan mungkin juga Imaduddin Abdul Rahim.
Pola pemikiran sosialisme–demokrasi menganggap bahwa
kehadiran Islam harus memberi makna pada manusia. Untuk mencapai tujuan ini,
Islam harus menjadi kekuatan yang mampu menjadi motivator secara terus menerus
dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Para pendukung sosialis-demokrasi
melihat bahwa struktur sosial politik dan, terutama, ekonomi di beberapa Negara
Islam termasuk Indonesia, masih belum mencerminkan makna kemanusiaan, sehingga
dapat dikatakan belum Islami. Proses Islamisasi, dengan demikian, bukanlah
sesuatu yang formalistik. Islamisasi dalam refleksi pemikiran mereka adalah
karya-karya produktif yang berorientasi kepada perubahan-perubahan sosial
ekonomi dan politik menuju terciptanya masyarakat yang adil dan demokratis. Adi
Sasono, M. Dawam Rahardjo, serta Kuntowidjojo dapat dimasukkan dalam pola
pemikiran ini.
Sedangkan Neo Modernisme mempunyai asumsi dasar bahwa
Islam harus dilibatkan dalam proses pergulatan modernisme. Bahkan kalau
mungkin, Islam diharapkan menjadi leading ism (ajaran-ajaran yang memimpin) di
masa depan. Namun demikian, hal itu tidak berarti menghilangkan tradisi
keislaman yang telah mapan. Hal ini melahirkan postulat (dalil) al-muhâfazhat
`alâ al-qadîm al-shâlih wa al-akhdu bi al-jadîd al-ashlah (memelihara tradisi
lama yang baik, dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). Pada sisi lain,
pendukung neo modernisme cenderung meletakkan dasar-dasar keislaman dalam
konteks atau lingkup nasional. Mereka percaya bahwa betapapun, Islam bersifat
universal, namun kondisi-kondisi suatu bangsa, secara tidak terelakkan, pasti
berpengaruh terhadap Islam itu sendiri. Ada dua tokoh intelektual yang menjadi
pendukung utama neo modernisme ini adalah Nurcholish Madjid dan Abdurrahman
Wahid. Tampaknya pemikiran Nurcholish (Prisma, nomor ekstra, 1984: 10-22),
lebih dipengaruhi oleh ide Fazlur Rahman, gurunya di Universitas Chicago,
Amerika Serikat. Sedang pemikiran neo modernisme Abdurrahman Wahid telah
dibentuk sejak awal karena ia dibesarkan dalam kultur ahlussunnah wal jama’ah
versi Indonesia, kalangan NU. Karena itu, ide-ide keIslamannya tampak jauh
lebih empiris, terutama dalam pemikirannya tentang hubungan Islam dan politik.
(Prisma, Nomor ekstra, 1984: 3-9; dan Prisma, 4 April 1984: 31-38).
C. Islam Liberal di Indonesia (Era Reformasi)
Sejak akhir tahun 1990an muncul kelompok-kelompok anak
muda yang menamakan diri kelompok “Islam Liberal” yang mencoba memberikan
respon terhadap permasalahan-permasalahan yang muncul pada akhir abad ke- 20.
Majelis Ulama Indonesia melihat betapa bahayanya pemikiran-pemikiran yang
dikembangkan oleh kelompok ini, sehingga pada Munasnya yang ke-7 pada tanggal
25-29 Juli 2005 mengeluarkan fatwa bahwa pluralisme, sekularisme dan
liberalisme merupakan paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Oleh
sebab itu umat Islam haram hukumnya mengikuti paham pluralisme, sekularisme dan
liberalisme agama (Adian Husaini, t.th: 2-4). Dalam Keputusan MUI No. 7/MUNAS
VII/11/2005 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan liberalisme adalah memahami
nash-nash agama (Al-Qur’an dan As-Sunnah) menggunakan akal pikiran yang bebas,
dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran
semata.
Islam liberal di Indonesia era reformasi nampak lebih
nyata setelah didirikannya sebuah “jaringan” kelompok diskusi pada tanggal 8
Maret 2001, yang tujuannya adalah untuk kepentingan pencerahan dan pembebasan
pemikiran Islam Indonesia. Usahanya dilakukan dengan membangun milis (
Islamliberal@yahoo.comAlamat e-mail ini dilindungi dari spambot, anda harus
memampukan JavaScript untuk melihatnya ). Kegiatan utama kelompok ini adalah
berdiskusi tentang hal-hal yang berkaitan dengan Islam, Negara, dan isu-isu
kemasyarakatan. Menurut hasil diskusi yang dirilis pada tanggal 1 Maret 2002,
Jaringan Islam Liberal (JIL) mengklaim telah berhasil menghadirkan 200 orang
anggota diskusi yang berasal dari kalangan para penulis, intelektual dan para
pengamat politik. Di antara mereka muncul nama-nama seperti; Taufik Adnan Amal,
Rizal Mallarangeng, Denny JA, Eep Saefullah Fatah, Hadimulyo, Ulil
Abshar-Abdalla, Saiful Muzani, Hamid Basyaib, Ade Armando dan Luthfi
Asysyaukani. Tentu tidak semua orang yang hadir diskusi berarti mendukung
ide-ide JIL.
Diskusi awal yang diangkat oleh JIL adalah seputar
definisi dan sikap Islam Liberal seputar isu-isu Islam, negara dan isu-isu
kemasyarakatan. Pendefinisian Islam Liberal diawali dengan kajian terhadap buku
Kurzman yang memilah tradisi keislaman dalam tiga kategori yakni, customary
Islam, fundamentalis atau Wahabis atau Salafis, dan liberal Islam. Kategori
ketiga diklaim sebagai koreksi dan respon terhadap dua kategori yang disebut
pertama. Pertanyaan yang muncul dalam diskusi awal itu adalah apakah Islam
Liberal di Indonesia akan bersifat elitis dan sekedar membangun wacana atau
Islam Liberal yang menyediakan refleksi empiris, dan memiliki apresiasi
terhadap realitas? Kalau Islam Liberal itu paralel dengan civic-culture (pro pluralisme,
equal opportunity, moderasi, trust, tolerance, memiliki sence of community yang
nasional, lalu di mana Islamnya? Atau Islam Liberal adalah skeptisisme dan
agnostisme yang hidup dalam masyarakat Islam? Diskusi dalam milis yang panjang
akhirnya tidak menyepakati sebuah definisi tentang Islam Liberal. Tetapi mereka
menandai sebuah gerakan dan pemikiran yang mencoba memberikan respon terhadap
kaum modernis, tradisional, dan fundamentalis.
Islam Liberal berkembang melalui media massa. Surat
kabar utama yang menjadi corong pemikiran Islam Liberal adalah Jawa Pos yang
terbit di Surabaya, Tempo di Jakarta dan Radio Kantor Berita 68 H, Utan Kayu
Jakarta. Melalui media tersebut disebarkan gagasan-gagasan dan penafsiran
liberal. Pernah suatu ketika, pemikiran dan gerakan ini menuai protes bahkan
ancaman kekerasan dari lawan-lawan mereka. Bahkan masyarakat sekitar Utan Kayu
pernah juga menuntut Radio dan komunitas JIL untuk pindah dari lingkungan
tersebut. Karya-karya yang dicurigai sebagai representasi pemikiran liberal
Islam dibicarakan dan dikutuk oleh lawan-lawannya, terutama melalui khutbah dan
pengajian. Buku seperti Fiqih Lintas Agama (Tim Penulis Paramadina), Menjadi
Muslim Liberal (Ulil Abshar-Abdalla) Counter-Legal Draft Kompilasi Hukum Islam
(Musda Mulia dkk), Indahnya Perkawinan Antar Jenis (Jurnal IAIN Walisongo) dan
banyak lagi artikel tentang Islam yang mengikuti arus utama pemikiran liberal.
Ketegangan antara yang pro dan kontra JIL, memuncak setelah keluarnya Fatwa MUI
tentang haramnya Liberalisme, Sekularisme dan Pluralisme pada tahun 2005.
Ketegangan sedikit menurun setelah salah seorang kontributor dan sekaligus
kordinator JIL, Ulil Abshar-Abdalla pergi ke luar negeri, belajar ke Amerika
Serikat.
Ulil melalui bukunya Menjadi Muslim Liberal menolak
jenis-jenis tafsir keagamaan yang hegemonik, tidak pluralis, antidemokrasi,
yang menurutnya potensial menggerogoti persendian Islam sendiri. Dengan gaya
narasi dan semantik yang lugas, Ulil misalnya melancarkan kritiknya kepada MUI
yang dalam amatannya telah memonopoli penafsiran atas Islam. Fatwa MUI yang
menyatakan bahwa pluralisme, liberalisme, dan sekularisme adalah faham sesat;
Ahmadiyah adalah keluar dari Islam – telah menyalakan emosi Ulil yang nyaris
tak terkendali.
Pemikiran Ulil tidak bebas seratus persen. Sebagai
alumni pesantren, ia tetap apresiatif terhadap keilmuan pesantren. Melalui
kolomnya On Being Muslim kita tahu bahwa Ulil ternyata mendapatkan akar-akar
liberalisme pemikiran keislamannya juga dari ilmu-ilmu tradisional seperti ushûl
al-fiqh, qawâ`id al-fiqhiyah yang dahulu diajarkan oleh para ustadznya di
pesantren. Ilmu-ilmu pesantren semacam balaghah dan mantiq (logika) tampaknya
turut melatih Ulil perihal bagaimana menstrukturkan kata dan kalimat,
mensistematisasikan argumen serta mengukuhkan kekuatan dalam bernalar.
Sayangnya, hanya kalangan fundamentalis saja yang
mencoba melakukan perlawanan retorik. Majalah seperti Sabili, Hidayatullah, dan
media-media di lingkungan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia mencoba untuk
memberikan counter opini terhadap gagasan-gagasan yang diusung oleh JIL.
Setelah Ulil pergi, dinamika pemikiran dan gerakan Islam kontemporer kembali
adem ayem.
Di antara pendapat-pendapat kaum pendukung Islam
liberal adalah sebagai berikut (Hartono Ahmad Jaiz, 2005: 109-110):
1. Al-Quran adalah teks dan harus dikaji dengan
hermeneutika
2. Kitab-kitab tafsir klasik itu tidak diperlukan lagi
3. Poligami harus dilarang
4. Mahar dalam perkawinan boleh dibayar oleh suami
atau isteri
5. Masa iddah juga harus dikenakan kepada laki-laki,
baik cerai hidup ataupun cerai mati
6. Pernikahan untuk jangka waktu tertentu boleh
hukumnya
7. Perkawinan dengan orang yang berbeda agama
dibolehkan kepada laki-laki atau perempuan muslim
8. Bagian warisan untuk anak laki-laki dan anak perempuan
sama 1:1
9. Anak di luar nikah yang diketahui secara pasti ayah
biologisnya tetap mendapatkan hak warisan dari ayahnya.
D. Profil Beberapa Kelompok Islam Liberal Di Indonesia
1. Jaringan Islam Liberal di Jakarta
Nong Darol Mahmada dan Burhanuddin dalam Imam Tholkhah
dan Neng Dara Affiah (2005: 301-351) menjelaskan, JIL terbentuk pada tangal 9
Maret 2001. Tanggal tersebut merujuk pada awal diluncurkannya milis
islamliberal@yahoogroups.comAlamat e-mail ini dilindungi dari spambot, anda
harus memampukan JavaScript untuk melihatnya yang pada awalnya beranggotakan
puluhan aktivis intelektual muda dari berbagai kelompok muslim moderat.
JIL berdiri antara lain karena kondisi sosial
keagamaan pasca Orde Baru yang menurut para pendiri JIL dirasakan semakin menunjukkan
wajah Islam yang tidak ramah dan cenderung menampilkan konservatisme. Dalam
pandangan para tokoh JIL, publik saat itu diwarnai dengan pemahaman masalah
sosial keagamaan yang radikal dan anti-pluralisme. Kondisi inilah yang kemudian
mendorong beberapa aktivis muda untuk melakukan berbagai diskusi di Jalan Utan
Kayu 68 H Jakarta Timur. Kemudian dengan merujuk kepada tempat itulah maka
beberapa tokoh muda Islam mendirikan Komunitas Islam Utan Kayu yang merupakan
cikal bakal berdirinya JIL. Beberapa nama yang terlibat untuk membentuk
Komunitas Utan Kayu itu dan kemudian mendirikan JIL antara lain Ulil
Abshar-Abdalla, Nong Darol Mahmada, Burhanuddin, Ihsan Ali Fauzi, Hamid
Basyaib, Taufiq Adnan Amal, Saiful Mujani, dan Luthfi Assaukanie. Beberapa tema
yang menjadi bahan diskusi di antara aktivis tersebut antara lain: maraknya
kekerasan atas nama agama, gencarnya tuntutan penerapan syariat Islam, serta
tidak adanya gerakan pembaruan pemikiran Islam yang sebelumnya dirintis oleh
Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid.
Nama Islam liberal, menurut para pendiri JIL, adalah
menggambarkan komunitas Islam yang menekankan kebebasan pribadi dan pembebasan
dari struktur sosial politik yang ada. Menurut para aktivis JIL, Islam Liberal
adalah suatu bentuk penafsiran tertentu atas Islam dengan landasan sebagai
berikut:
1. Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi;
2. Mengutamakan semangat religio etik, bukan makna
literal teks;
3. Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan
plural;
4. Memihak pada yang minoritas dan tertindas;
5. Meyakini kebebasan beragama;
6. Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrowi, otoritas
keagamaan dan politik. Islam liberal yakin bahwa kekuasaan keagamaan dan
politik harus dipisahkan.
Secara umum, kegiatan-kegiatan JIL ditujukan untuk
turut memberikan kontribusi dalam meredakan maraknya fundamentalisme keagamaan
di Indonesia sekaligus membuka pemahaman publik terhadap pemahaman keagamaan
yang pluralis dan demokratis. Secara khusus, kegiatan-kegiatan JIL ditujukan
untuk:
1. Menciptakan intellectual discourses tentang isu-isu
keagamaan yang pluralis dan demokratis serta berperspektif gender;
2. Membentuk intllectual community yang bersifat
organik dan responsif serta berkemauan keras untuk memperjuangkan nilai-nilai
keagamaan yang suportif terhadap pemantapan konsolidasi demokrasi di Indonesia;
3. Menggulirkan intellectual networking yang secara
aktif melibatkan jaringan kampus, Lembaga Swadaya Masyarakat, media massa dan
lain-lain untuk menolak fasisme atas nama agama.
Sebagaimana sebuah pemikiran baru, selalu menimbulkan
pro dan kontra. Demikian juga dengan JIL. Sikap pro-kontra terhadap JIL dapat
dipetakan menjadi dua yaitu dalam bentuk fisik dan intelektual. Dalam bentuk
intelektual dapat dilihat dari terbitnya berbagai buku baik yang menghujat maupun
menanggapi secara positif. Beberapa penulis yang menentang JIL yang dibukukan
antara lain Adian Husaini, Adnin Armas, Yudhi R. Haryono, Hartono Ahmad Jaiz,
dan Fauzan al-Anshari. Sementara itu ada juga yang mencoba berpikir obyektif
ilmiah, menjadikan JIL sebagai fokus bahasan untuk menyusun skripsi, tesis,
maupun disertasi.
Sementara itu, sebagian kelompok masyarakat Islam
menganggap bahwa pemikiran JIL dianggap dapat merusak aqidah umat Islam. Oleh
karena itu mereka menentangnya dalam bentuk kekerasan fisik. Hal itu antara
lain dalam bentuk demontrasi oleh Front Pembela Islam (FPI). Beberapa kali
milis yang dikelola JIL juga mendapat serangan spam dan dibajak oleh
hacker-hacker. Sementara itu Forum Ulama Umat Islam (FUUI) di Bandung
mengeluarkan fatwa mati kepada Ulil sebagai ketua JIL. Institusi JIL juga
semakin diributkan setelah keluar fatwa MUI yang mengharamkan faham
liberalisme, sekularisme dan pluralisme.
2. Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)
Menurut Ahmad Najib Burhani dalam Imam Tholkhah dan
Neng Dara Affiah (2005: 352-399), tidak terlalu jelas kapan terbentuknya
Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (selanjutnya ditulis JIMM). Pada
pertengahan tahun 2003 banyak berita dan opini dalam media massa nasional
memuat tulisan tentang JIMM atau artikel-artikel yang ditulis oleh tokoh JIMM.
Tiba-tiba pula sejumlah anak muda Muhammadiyah menggabungkan diri dan terlibat
dalam aktivitas intelektual bersama dalam berbagai workshop, seminar, diskusi,
penelitian ilmiah dan sejenisnya.
Walaupun tidak ditetapkan secara pasti kapan JIMM
dibentuk, tetapi ada beberapa peristiwa, internal dan eksternal, yang
mengiringi kebangkitan intelektual muda Muhammadiyah. Dari sisi internal,
paling tidak terdapat tiga faktor. Pertama, geliat pemikiran Muhammadiyah pasca
Muktamar ke-43 yang dimotori antara lain oleh M. Amien Rais, Ahmad Syafii
Ma`arif dan M. Amin Abdullah. Kedua, masuknya kembali pemikir-pemikir
Muhammadiyah seperti Moeslim Abdurrahman. Ketiga, pendirian Maarif Institute
for Culture and Humanity yang awalnya dirancang untuk memperingati ulang tahun
Ahmad Syafii Ma`arif ke 70. Sedangkan dari sisi eksternal, JIMM lahir sebagai
respon agresifitas generasi muda NU (Nahdlatul Ulama) yang mewarnai pemikiran
dan gerakan Islam kontemporer, baik yang bersifat individual maupun yang
tergabung dalam lembaga seperti LKiS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial), JIL
(Jaringan Islam Liberal), Lakpesdam NU, P3M, dan Desantara. Agresifitas
tersebut telah memicu kecemburuan di kalangan muda Muhammadiyah yang kalau
dilihat dari label yang disandang Muhammadiyah, sebagai gerakan Islam pembaru
dan Islam modernis, seharusnya memiliki pemikiran jauh ke depan dibanding
dengan aktivis muda NU.
Bagi para aktivis JIMM sendiri, ada tiga alasan kenapa
JIMM didirikan. Pertama, JIMM hadir katanya untuk mengawal tradisi tajdid
(pembaruan) yang belakangan cenderung meredup. Kedua, JIMM lahir untuk mengisi
kesenjangan intelektual antar-generasi di Muhammadiyah, sehingga JIMM
diharapkan dapat menjadi arena kaderisasi intelektual muda Muhammadiyah.
Ketiga, JIMM lahir sebagai respon terhadap tantangan dan tuduhan dari luar
Muhammadiyah.
Kelahiran JIMM menimbulkan reaksi pro dan kontra, baik
dari kalangan generasi senior Muhammadiyah maupun dari luar warga Muhammadiyah.
Beberapa sesepuh Muhammadiyah mencurigai keberadaan JIMM sebagai kepanjangan
tangan dari gerakan liberalisme di Indonesia, agen Barat untuk melakukan
hegemoni terhadap umat Islam, bahkan dianggap telah melanggar aturan organisasi
Muhammadiyah.
Sejak awal kelahirannya, JIMM memancangkan tiga pilar
sebagai strategi gerakannya yaitu hermeneutika, teori sosial dan new social
movement. Penggunaan hermeneutika dimaksudkan untuk mendobrak pendekatan dan
pemahaman struktural yang dominan di kalangan Muhammadiyah. Dengan hermeneutika
maka akan terjadi reproduction of new meaning. Teori-teori sosial
kritis,—seperti kerangka teoritik Antonio Gramsci untuk menolak hegemoni, atau
teori Paulo Freire untuk pembebasan kaum tertindas—digunakan sebagai peralatan
intelektual Islam. Dengan memanfaatkan teori sosial kritis maka diharapkan
warga Muhammadiyah tidak hanya berfungsi sebagai mediator tetapi sebagai
artikulator bagi transformasi sosial. Sedangkan dengan konsep the new social
movement menjadikan teologi bukan hanya semata-mata sebagai disiplin ilmu
tetapi menjadi sebuah gerakan. Seluruh elemen masyarakat yang selama ini
terpinggirkan, digerakkan oleh teologi untuk bersatu melakukan perubahan
bersama.
E. PENUTUP
Demikian beberapa deskripsi singkat tentang gerakan
Islam liberal di Indonesia. Masih ada beberapa organisasi lain yang tidak
disebutkan di sini seperti FORMACI, LKiS Yogyakarta, Letsform (Lembaga
Transformasi Muhammadiyah) Jawa Barat, dan Pesantren Mahasiswa An-Nur Wonocolo
Surabaya, tetapi pengaruh mereka hampir dapat diabaikan.
Menurut Greg Barton, beberapa karakteristik pemikiran
Islam liberal di Indonesia antara lain: 1) senantiasa mengusung semangat
ijtihad; 2) mengusung rasionalisme; 3) menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi;
4) menjunjung tinggi peran ilmu pengetahuan; 5) memandang bahwa keinginan
mendirikan “negara Islam” adalah pengalihan perhatian yang merugikan; 6)
menerima dan mendukung pluralisme masyarakat; 7) memegangi prinsip-prinsip
humanitarianisme, bahkan memandangnya sebagai essensi dan jantung Islam; 8). memperjuangkan
kesetaraan gender.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Wahid, “NU dan Islam di Indonesia Deawasa
ini”, Prisma, No 4 April 1984.
Abdurrahman Wahid “Massa Islam dalam Kehidupan
Bernegara dan Berbangsa”, Prisma, nomor ekstra, 1984.
Adian Husaini, Pluralisme Agama: Haram, Fatwa MUI yang
Tegas & Tidak Kontroversial, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Ahmad Najib Burhani, “Jaringan Intelektual Muda
Muhammadiyah (JIMM): Pemberontakan Melawan Puritanisme dan dan Skripturalisme
Persyarikatan” dalam Imam Tholkhah dan Neng Dara Affiah (ed.), Gerakan
Keislaman Pasca Orde Baru: Upaya Merambah Dimensi Baru Islam, Jakarta: Badan
Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, t.th.
Fachri Aly & Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru
Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Masa Orde Baru, Bandung, Mizan, 1986.
Hartono Ahmad Jaiz, Ada Pemurtadan di IAIN, Jakarta,
Pustaka Al Kautsar, 2006
Keputusan Fatwa MUI No. 7/MUNAS VII/MUI/11/2005
tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama.
Nong Darol Mahmada dan Burhanuddin, “Jaringan Islam Liberal
(JIL): Pewaris Pemikiran Pembaruan Islam di Indonesia” dalam Imam Tholkhah dan
Neng Dara Affiah (ed.), Gerakan Keislaman Pasca Orde Baru: Upaya Merambah
Dimensi Baru Islam, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI,
t.th.
Nurcholish Madjid, “Suatu Tatapan Islam terhadap Masa
Depan Politik Indonesia”, Prisma, nomor ekstra,1984.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar