Selasa, 20 Maret 2012

Sejarah Pulau Jawa


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelsaikan tugas kelompok makalah  ini dengan judul “budaya masyarakat jawa” sebagai salah satu syarat dalam mata kuliah pengantar ilmu sosial.

Penulis sangat menyadari akan keterbatasan kemampuan, pengetahuan dan pengalaman serta sumber informasi berkaitan dengan makalah ini. Untuk itu penulis sangat mengharapkan berbagai masukan, baik dari dosen pembimbing, rekan-rekan dan pihak lain berupa kritik yang membangun agar makalah ini menjadi lebih baik lagi.

Dengan tersusunya makalah ini, penulis menghaturkan terima kasih yang tak terhingga kepada bapak rudy gunawan. Selaku dosen pembimbing dan rekan-rekan di kelas serta pihak lain yang turut membantu dalam menyelsaikan makalah ini.

  Jakarta ,09 Januari 2012

      Penulis

    Ajeng Setyarini
         Fajar Sapto Aji


Daftar Isi
Kata Pengantar........................................................................................................................1
Daftar Isi..................................................................................................................................2
Pendahuluan............................................................................................................................3
BAB I
Etimologi dan Sejarah.............................................................................................................4
BAB II
Geografi...................................................................................................................................6
Demografi...............................................................................................................................8
BAB III
Bahasa.....................................................................................................................................9
BAB IV
Sastra Jawa............................................................................................................................20

BAB V

Kepercayaan, Profesi dan Stratifikasi Sosial........................................................................22

Budaya Dan Seni...................................................................................................................23

BAB VI

Upacara Pengantenan............................................................................................................24

BAB VII

Hukum Adat..........................................................................................................................30

 

Kesimpulan...........................................................................................................................31

Daftar Pustaka.......................................................................................................................32

 

 Pendahuluan

Sejarah Pulau Jawa (The History of Java) adalah buku yang dikarang oleh Sir Thomas Stamford Raffles dan diterbitkan pada tahun 1817.
Dalam buku ini, Raffles yang memerintah sebagai Gubernur-Jendral di Hindia-Belanda dari tahun 1811-1816 menuliskan mengenai keadaan penduduk di pulau Jawa, adat-istiadat, keadaan geografi, sistem pertanian, sistem perdagangan, bahasa dan agama yang ada di pulau Jawa pada waktu itu. Buku ini diterbitkan dalam dua bendel (volume I: 479 halaman, dan volume II: 291 halaman, dilengkapi dengan banyak halaman bergambar) dan dicetak ulang pada tahun 1965 oleh Oxford University Press di London.
Pada salah satu bab dari buku ini, Raffles menceritakan mengenai upacara adat yang dilakukan dalam penyambutan kelahiran bayi, dalam perkawinan, dan pada upacara kematian yang biasa dilakukan sejak zaman dulu kala hingga pada saat itu. Buku ini juga berisi tentang upacara selamatan dan perayaan yang menampilkan tarian tradisional dan pertunjukkan wayang pada abad ke-19 dan sebelumnya. Buku ini merupakan buku yang berbeda dengan buku Babad Tanah Jawi yang dikarang oleh carik Braja pada zaman pemerintahan Sunan Pakubuwono III di Surakarta.







 

BAB I

Etimologi

Asal mula nama 'Jawa' tidak jelas. Salah satu kemungkinan adalah nama pulau ini berasal dari tanaman jáwa-wut, yang banyak ditemukan di pulau ini pada masa purbakala, sebelum masuknya pengaruh India pulau ini mungkin memiliki banyak nama. Ada pula dugaan bahwa pulau ini berasal dari kata jaú yang berarti "jauh".Dalam Bahasa Sanskerta yava berarti tanaman jelai, sebuah tanaman yang membuat pulau ini terkenal. "Yawadvipa" disebut dalam epik India Ramayana. Sugriwa, panglima bangsa wanara (kera) pasukan Rama mengirimkan utusannya ke Yawadvipa (pulau Jawa), untuk mencari Shinta. Kemudian berdasarkan kesusastraan India terutama pustaka Tamil, disebut dengan nama Sanskerta "yāvaka dvīpa" (dvīpa = pulau). Sumber lain mengajukan dugaan bahwa kata "Jawa" berasal dari akar kata dalam bahasa Proto-Austronesia, yang berarti 'rumah'.

Sejarah

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/f/f1/MerbabuSawah.jpg/220px-MerbabuSawah.jpg

Pemandangan Gunung Merbabu yang dikelilingi persawahan. Topografi vulkanik serta tanah pertanian yang subur merupakan faktor penting dalam sejarah pulau Jawa.
Sisa-sisa fosil Homo erectus, yang populer dijuluki "Si Manusia Jawa", ditemukan di sepanjang daerah tepian Sungai Bengawan Solo, dan peninggalan tersebut berasal dari masa 1,7 juta tahun yang lampau.
Pulau Jawa yang sangat subur dan bercurah hujan tinggi memungkinkan berkembangnya budidaya padi di lahan basah, sehingga mendorong terbentuknya tingkat kerjasama antar desa yang semakin kompleks. Dari aliansi-aliansi desa tersebut, berkembanglah kerajaan-kerajaan kecil. Jajaran pegunungan vulkanik dan dataran-dataran tinggi yang sekitarnya di sepanjang pulau Jawa membuat menyebabkan daerah-daerah interior pulau ini beserta masyarakatnya secara relatif terpisahkan dari pengaruh luar. Di masa sebelum berkembangnya negara-negara Islam serta kedatangan kolonialisme Eropa, sungai-sungai yang ada merupakan utama perhubungan masyarakat, meskipun kebanyakan sungai di Jawa beraliran pendek. Hanya Sungai Brantas dan Bengawan Solo yang dapat menjadi sarana penghubung jarak jauh, sehingga pada lembah-lembah sungai tersebut terbentuklah pusat dari kerajaan-kerajaan yang besar.
Diperkirakan suatu sistem perhubungan yang terdiri dari jaringan jalan, jembatan permanen, serta pos pungutan cukai telah terbentuk di pulau Jawa setidaknya pada pertengahan abad ketujuh belas. Para penguasa lokal memiliki kekuasaan atas rute-rute tersebut, musim hujan yang lebat dapat pula mengganggu perjalanan, dan demikian pula penggunakan jalan-jalan sangat tergantung pada pemeliharaan yang terus-menerus. Dapatlah dikatakan bahwa perhubungan antar penduduk pulau Jawa pada masa itu adalah sulit.

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

Geografi

Jawa bertetangga dengan Sumatera di sebelah barat, Bali di timur, Kalimantan di utara, dan Pulau Christmas di selatan. Pulau Jawa merupakan pulau ke-13 terbesar di dunia. Perairan yang mengelilingi pulau ini ialah Laut Jawa di utara, Selat Sunda di barat, Samudera Hindia di selatan, serta Selat Bali dan Selat Madura di timur.
Jawa memiliki luas sekitar 139.000 km2. Sungai yang terpanjang ialah Bengawan Solo, yaitu sepanjang 600 km. Sungai ini bersumber di Jawa bagian tengah, tepatnya di gunung berapi Lawu. Aliran sungai kemudian mengalir ke arah utara dan timur, menuju muaranya di Laut Jawa di dekat kota Surabaya.
Hampir keseluruhan wilayah Jawa pernah memperoleh dampak dari aktivitas gunung berapi. Terdapat tiga puluh delapan gunung yang terbentang dari timur ke barat pulau ini, yang kesemuanya pada waktu tertentu pernah menjadi gunung berapi aktif. Gunung berapi tertinggi di Jawa adalah Gunung Semeru (3.676 m), sedangkan gunung berapi paling aktif di Jawa dan bahkan di Indonesia adalah Gunung Merapi (2.968 m). Gunung-gunung dan dataran tinggi yang berjarak berjauhan membantu wilayah pedalaman terbagi menjadi beberapa daerah yang relatif terisolasi dan cocok untuk persawahan lahan basah. Lahan persawahan padi di Jawa adalah salah satu yang tersubur di dunia.





LETAK DAN  KEADAAN GEOGRAFIS

Lokasi
:
108o40’ – 108o48’   Bujur Timur


6o 30’ – 7o 00’        Lintang Selatan
Luas ( daerah administrasi )
:
990,36 Km2
Jarak  Terjauh
:
Barat – Timur        54 Km


Utara – Selatan     39 Km
Ketinggian ( dari permukaan laut )
:
0 – 130 m
Jenis Tanah
:







Litasol
Aluvial
Grumosol
Mediteran
Latasol
Potsolik
Regosol
Gleihumus


 

 

Demografi

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/e/ef/Upenn-f16-0085_1955_5_Java.gif
Dengan populasi sebesar 136 juta jiwaPulau Jawa adalah yang menjadi tempat tinggal lebih dari 57% populasi Indonesia. Dengan kepadatan 1.029 jiwa/km²,pulau ini juga menjadi salah satu pulau di dunia yang paling dipadati penduduk. Sekitar 45% penduduk Indonesia berasal dari etnis Jawa. Walaupun demikian sepertiga bagian barat pulau ini (Jawa Barat, Banten, dan Jakarta) memiliki kepadatan penduduk lebih dari 1.400 jiwa/km2.
Sejak tahun 1970-an hingga kejatuhan Suharto pada tahun 1998, pemerintah Indonesia melakukan program transmigrasi untuk memindahkan sebagian penduduk Jawa ke pulau-pulau lain di Indonesia yang lebih luas. Program ini terkadang berhasil, namun terkadang menghasilkan kon







 

 

BAB III

Bahasa

Suku bangsa Jawa sebagian besar menggunakan bahasa Jawa dalam bertutur sehari-hari. Dalam sebuah survei yang diadakan majalah Tempo pada awal dasawarsa 1990-an, kurang lebih hanya 12% orang Jawa yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa mereka sehari-hari, sekitar 18% menggunakan bahasa Jawa dan Indonesia secara campur, dan selebihnya hanya menggunakan bahasa Jawa saja.
Bahasa Jawa memiliki aturan perbedaan kosa kata dan intonasi berdasarkan hubungan antara pembicara dan lawan bicara, yang dikenal dengan unggah-ungguh. Aspekebahasaan ini memiliki pengaruh sosial yang kuat dalam budaya Jawa, dan membuat orang Jawa biasanya sangat sadar akan status sosialnya di masyarakat.

Bahasa Jawa
ꦧꦱꦗꦮ (Basa Jawa)
Dituturkan di

Jumlah penutur
sekitar total 80 juta
12
·         Malayo-Polinesia
§  Bahasa Jawa
Kode-kode bahasa
jv
jav
variously:
jav – bahasa Jawa
jvn – bahasa Jawa Karibia
jas – bahasa Jawa Kaledonia Baru
osi – bahasa Osing
tes – bahasa Tengger
kaw – bahasa Jawa Kuna
Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan penduduk suku bangsa Jawa di Jawa Tengah,Yogyakarta & Jawa Timur. Selain itu, Bahasa Jawa juga digunakan oleh penduduk yang tinggal beberapa daerah lain seperti di Banten terutama kota Serang, kabupaten Serang, kota Cilegon dan kabupaten Tangerang, Jawa Barat khususnya kawasan Pantai utara terbentang dari pesisir utara Karawang, Subang, Indramayu, kota Cirebon dan kabupaten Cirebon.

Penyebaran Bahasa Jawa

Penduduk Jawa yang merantau, membuat bahasa Jawa bisa ditemukan di berbagai daerah bahkan di luar negeri. Banyaknya orang Jawa yang merantau ke Malaysia turut membawa bahasa dan kebudayaan Jawa ke Malaysia, sehingga terdapat kawasan pemukiman mereka yang dikenal dengan nama kampung Jawa, padang Jawa. Di samping itu, masyarakat pengguna Bahasa Jawa juga tersebar di berbagai wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kawasan-kawasan luar Jawa yang didominasi etnis Jawa atau dalam persentase yang cukup signifikan adalah : Lampung (61,9%), Sumatra Utara (32,6%), Jambi (27,6%), Sumatera Selatan (27%). Khusus masyarakat Jawa di Sumatra Utara, mereka merupakan keturunan para kuli kontrak yang dipekerjakan di berbagai wilayah perkebunan tembakau, khususnya di wilayah Deli sehingga kerap disebut sebagai Jawa Deli atau Pujakesuma (Putra Jawa Kelahiran Sumatera), dengan dialek dan beberapa kosa kata Jawa Deli. Sedangkan masyarakat Jawa di daerah lain disebarkan melalui program transmigrasi yang diselenggarakan semenjak zaman penjajahan Belanda.
Selain di kawasan Nusantara, masyarakat Jawa juga ditemukan dalam jumlah besar di Suriname, yang mencapai 15% dari penduduk secara keseluruhan, kemudian di Kaledonia Baru bahkan sampai kawasan Aruba dan Curacao serta Belanda. Sebagian kecil bahkan menyebar ke wilayah Guyana Perancis dan Venezuela. Pengiriman tenaga kerja ke Korea, Hong Kong, serta beberapa negara Timur Tengah juga memperluas wilayah sebar pengguna bahasa ini meskipun belum bisa dipastikan kelestariannya.

Fonologi

Dialek baku bahasa Jawa, yaitu yang didasarkan pada dialek Jawa Tengah, terutama dari sekitar kota Surakarta dan Yogyakarta memiliki fonem-fonem berikut:
Vokal:
Depan
Tengah
Belakang
i
   
u
e
ə
o
(ɛ)

(ɔ)

a

Konsonan:

Labial
Dental
Alveolar
Retrofleks
Palatal
Velar
Glotal
Letupan
p b
t d

ʈ ɖ
k g
ʔ
Frikatif


s
(ʂ)


h
Likuida & semivokal
w
l
r

j


Sengau
m
n

(ɳ)
ɲ
ŋ

Perhatian: Fonem-fonem antara tanda kurung merupakan alofon. Catatan pembaca pakar bahasa Jawa: Dalam bahasa Jawa [a],[ɔ], dan [o] itu membedakan makna [baba?] 'luka'; [bɔbɔ?]'param' atau 'lobang', sikile di-bɔbɔ?i 'kakinya diberi param', lawange dibɔbɔ?i 'pintunya dilubangi'; dan [bobo?] 'tidur'. [warɔ?] 'rakus' sedang [wara?] 'badak'; [lɔr] 'utara' sedangkan [lar] 'sayap', [gəɖɔŋ?] 'gedung' sedangkan [gəɖaŋ?] 'pisang; [cɔrɔ]'cara' sedang [coro] 'kecoak', [lɔrɔ]'sakit' sedang [loro] 'dua', dan [pɔlɔ] 'pala/rempah-rempah' sedang [polo] 'otak'. Dengan demikian, bunyi [ɔ] itu bukan alofon [a] ataupun alofon [o] melainkan fonem tersendiri.
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/4/4b/Sugengrawuh.png/300px-Sugengrawuh.png
Sugengrawuh atau "Selamat datang" yang ditulis menggunakan aksara Jawa

Penjelasan Vokal

Tekanan kata (stress) direalisasikan pada suku kata kedua dari belakang, kecuali apabila sukukata memiliki sebuah pepet sebagai vokal. Pada kasus seperti ini, tekanan kata jatuh pada sukukata terakhir, meskipun sukukata terakhir juga memuat pepet. Apabila sebuah kata sudah diimbuhi dengan afiks, tekanan kata tetap mengikuti tekanan kata kata dasar. Contoh: /jaran/ (kuda) dilafazkan sebagai [j'aran] dan /pajaranan/ (tempat kuda) dilafazkan sebagai [paj'aranan].
Semua vokal kecuali /ə/, memiliki alofon. Fonem /a/ pada posisi tertutup dilafazkan sebagai [a], namun pada posisi terbuka sebagai [ɔ]. Contoh: /lara/ (sakit) dilafazkan sebagai [l'ɔrɔ], tetapi /larane/ (sakitnya) dilafazkan sebagai [l'arane]
Fonem /i/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [i] namun pada posisi tertutup lafaznya kurang lebih mirip [e]. Contoh: /panci/ dilafazkan sebagai [p'aɲci] , tetapi /kancil/ kurang lebih dilafazkan sebagai [k'aɲcel].
Fonem /u/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [u] namun pada posisi tertutup lafaznya kurang lebih mirip [o]. Contoh: /wulu/ (bulu) dilafazkan sebagai [w'ulu] , tetapi /ʈuyul/ (tuyul) kurang lebih dilafazkan sebagai [ʈ'uyol].
Fonem /e/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [e] namun pada posisi tertutup sebagai [ɛ]. Contoh: /lele/ dilafazkan sebagai [l'ele] , tetapi /bebek/ dilafazkan sebagai [b'ɛbɛʔ].
Fonem /o/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [o] namun pada posisi tertutup sebagai [ɔ]. Contoh: /loro/ dilafazkan sebagai [l'oro] , tetapi /boloŋ/ dilafazkan sebagai [b'ɔlɔŋ].

Penjelasan Konsonan

Fonem /k/ memiliki sebuah alofon. Pada posisi terakhir, dilafazkan sebagai [ʔ]. Sedangkan pada posisi tengah dan awal tetap sebagai [k].
Fonem /n/ memiliki dua alofon. Pada posisi awal atau tengah apabila berada di depan fonem eksplosiva palatal atau retrofleks, maka fonem sengau ini akan berubah sesuai menjadi fonem homorgan. Kemudian apabila fonem /n/ mengikuti sebuah /r/, maka akan menjadi [ɳ] (fonem sengau retrofleks). Contoh: /panjaŋ/ dilafazkan sebagai [p'aɲjaŋ], lalu /anɖap/ dilafazkan sebagai [ʔ'aɳɖap]. Kata /warna/ dilafazkan sebagai [w'arɳɔ].
Fonem /s/ memiliki satu alofon. Apabila /s/ mengikuti fonem /r/ atau berada di depan fonem eksplosiva retrofleks, maka akan direalisasikan sebagai [ʂ]. Contoh: /warsa/ dilafazkan sebagai [w'arʂɔ], lalu /esʈi/ dilafazkan sebagai [ʔ'eʂʈi].

Fonotaktik

Dalam bahasa Jawa baku, sebuah sukukata bisa memiliki bentuk seperti berikut: (n)-K1-(l)-V-K2.

Artinya ialah Sebagai berikut:
  • (n) adalah fonem sengau homorgan.
  • K1 adalah konsonan eksplosiva ata likuida.
  • (l) adalah likuida yaitu /r/ atau /l/, namun hanya bisa muncul kalau K1 berbentuk eksplosiva.
  • V adalah semua vokal. Tetapi apabila K2 tidak ada maka fonem /ə/ tidak bisa berada pada posisi ini.
  • K2 adalah semua konsonan kecuali eksplosiva palatal dan retrofleks; /c/, /j/, /ʈ/, dan /ɖ/.
Contoh:
  • a
  • an
  • pan
  • prang
  • njlen

Tata Bahasa

Variasi dalam bahasa Jawa

Klasifikasi berdasarkan dialek geografi mengacu kepada pendapat E.M. Uhlenbeck (1964) [1]. Peneliti lain seperti W.J.S. Poerwadarminta dan Hatley memiliki pendapat yang berbeda.[rujukan?]
Kelompok Barat
  1. dialek Banten
  2. dialek Cirebon. Menurut hasil Penelitian yang dilakukan dengan menggunakan Metode Guiter, Bahasa Cirebonan memiliki Perbedaan sekitar 75% dengan Bahasa Jawa Yogya / Surakarta[2].
  3. dialek Tegal
  4. dialek Banyumasan
  5. dialek Bumiayu (peralihan Tegal dan Banyumas
Tiga dialek terakhir biasa disebut Dialek Banyumasan.
Kelompok Tengah
  1. dialek Pekalongan
  2. dialek Kedu
  3. dialek Bagelen
  4. dialek Semarang
  5. dialek Pantai Utara Timur (Jepara, Rembang, Demak, Kudus, Pati)
  6. dialek Blora
  7. dialek Surakarta
  8. dialek Yogyakarta
  9. dialek Madiun
Kelompok kedua ini dikenal sebagai bahasa Jawa Tengahan atau Mataraman. Dialek Surakarta dan Yogyakarta menjadi acuan baku bagi pemakaian resmi bahasa Jawa (bahasa Jawa Baku).
Kelompok Timur
  1. dialek Pantura Jawa Timur (Tuban, Bojonegoro)
  2. dialek Surabaya
  3. dialek Malang
  4. dialek Jombang
  5. dialek Tengger
  6. dialek Banyuwangi (atau disebut Bahasa Osing)
Kelompok ketiga ini dikenal sebagai bahasa Jawa Wetanan (Timur).

Register (undhak-undhuk basa)

Bahasa Jawa mengenal undhak-undhuk basa dan menjadi bagian integral dalam tata krama (etiket) masyarakat Jawa dalam berbahasa. Dialek Surakarta biasanya menjadi rujukan dalam hal ini. Bahasa Jawa bukan satu-satunya bahasa yang mengenal hal ini karena beberapa bahasa Austronesia lain dan bahasa-bahasa Asia Timur seperti bahasa Korea dan bahasa Jepang juga mengenal hal semacam ini. Dalam sosiolinguistik, undhak-undhuk merupakan salah satu bentuk register.
Terdapat tiga bentuk utama variasi, yaitu ngoko ("kasar"), madya ("biasa"), dan krama ("halus"). Di antara masing-masing bentuk ini terdapat bentuk "penghormatan" (ngajengake, honorific) dan "perendahan" (ngasorake, humilific). Seseorang dapat berubah-ubah registernya pada suatu saat tergantung status yang bersangkutan dan lawan bicara. Status bisa ditentukan oleh usia, posisi sosial, atau hal-hal lain. Seorang anak yang bercakap-cakap dengan sebayanya akan berbicara dengan varian ngoko, namun ketika bercakap dengan orang tuanya akan menggunakan krama andhap dan krama inggil. Sistem semacam ini terutama dipakai di Surakarta, Yogyakarta, dan Madiun. Dialek lainnya cenderung kurang memegang erat tata-tertib berbahasa semacam ini.
Sebagai tambahan, terdapat bentuk bagongan dan kedhaton, yang keduanya hanya dipakai sebagai bahasa pengantar di lingkungan keraton. Dengan demikian, dikenal bentuk-bentuk ngoko lugu, ngoko andhap, madhya, madhyantara, krama, krama inggil, bagongan, kedhaton.
Di bawah ini disajikan contoh sebuah kalimat dalam beberapa gaya bahasa yang berbeda-beda ini.
  1. Ngoko kasar: “Eh, aku arep takon, omahé Budi kuwi, nèng*ndi?’
  2. Ngoko alus: “Aku nyuwun pirsa, dalemé mas Budi kuwi, nèng endi?”
  3. Ngoko meninggikan diri sendiri: “Aku kersa ndangu, omahé mas Budi kuwi, nèng ndi?” (ini dianggap salah oleh sebagian besar penutur bahasa Jawa karena menggunakan leksikon krama inggil untuk diri sendiri)
  4. Madya: “Nuwun sèwu, kula ajeng tanglet, griyané mas Budi niku, teng pundi?” (ini krama desa (substandar))
  5. Madya alus: “Nuwun sèwu, kula ajeng tanglet, dalemé mas Budi niku, teng pundi?” (ini juga termasuk krama desa (krama substandar))
  6. Krama andhap: “Nuwun sèwu, dalem badhé nyuwun pirsa, dalemipun mas Budi punika, wonten pundi?” (dalem itu sebenarnya pronomina persona kedua, kagungan dalem 'kepunyaanmu'. Jadi ini termasuk tuturan krama yang salah alias krama desa)
  7. Krama lugu: “Nuwun sewu, kula badhé takèn, griyanipun mas Budi punika, wonten pundi?”
  8. Krama alus “Nuwun sewu, kula badhe nyuwun pirsa, dalemipun mas Budi punika, wonten pundi?”
*nèng adalah bentuk percakapan sehari-hari dan merupakan kependekan dari bentuk baku ana ing yang disingkat menjadi (a)nêng.
Dengan memakai kata-kata yang berbeda dalam sebuah kalimat yang secara tatabahasa berarti sama, seseorang bisa mengungkapkan status sosialnya terhadap lawan bicaranya dan juga terhadap yang dibicarakan. Walaupun demikian, tidak semua penutur bahasa Jawa mengenal semuanya register itu. Biasanya mereka hanya mengenal ngoko dan sejenis madya.

Bilangan dalam bahasa Jawa

Bila dibandingkan dengan bahasa Melayu atau Indonesia, bahasa Jawa memiliki sistem bilangan yang agak rumit.
Bahasa
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
sa
rwa
telu
pat
lima
enem
pitu
walu
sanga
sapuluh
eka
dwi
tri
catur
panca
sad
sapta
asta
nawa
dasa
setunggal
kalih
tiga
sekawan
gangsal
enem
pitu
wolu
sanga
sedasa
siji
loro
telu
papat
lima
enem
pitu
wolu
sanga
sepuluh

Angka
Ngoko
Krama
11
sewelas
setunggal welas (sewelas)
12
rolas
kalih welas
13
telulas
tiga welas
14
patbelas
sekawan welas
15
limalas
gangsal welas
16
nembelas
enem welas
17
pitulas
pitulas
18
wolulas
wolulas
19
sangalas
sangalas
20
rong puluh
kalih dasa
21
selikur
selikur/kalih dasa setunggal
22
rolikur
kalih likur
23
telulikur
tigang likur
24
patlikur
sekawan likur
25
selawé
selangkung
26
nemlikur
nemlikur
30
telung puluh
tigang dasa
31
telung puluh siji
tigang dasa setunggal
32
telung puluh loro
tigang dasa kalih
40
patang puluh
sekawan dasa
41
patang puluh siji
sekawan dasa setunggal
42
patang puluh loro
sekawan dasa kalih
50
sèket
sèket
51
sèket siji
sèket setunggal
52
sèket loro
sèket kalih
60
swidak
swidak
61
swidak siji
swidak setunggal
62
swidak loro
swidak kalih
70
pitung puluh
pitu dasa
80
wolung puluh
wolu dasa
90
sangang puluh
sanga dasa
100
satus
setunggal atus
101
satus siji
setunggal atus setunggal
102
satus loro
setunggal atus kalih
120
satus rong puluh
setunggal atus kalih dasa
121
satus selikur
setunggal atus kalih dasa setunggal
200
rong atus
kalih atus
500
limang atus
gangsal atus
1.000
sèwu
setunggal èwu
1.001
sèwu siji
setunggal èwu setunggal
1.002
sèwu loro
setunggal èwu kalih
1.500
sèwu limang atus
setunggal èwu gangsal atus
1.520
sèwu limang atus rong puluh
setunggal èwu gangsal atus kalih dasa
1.550
sèwu limang atus sèket
setunggal èwu gangsal atus sèket
1.551
sèwu limang atus sèket siji
setunggal èwu gangsal atus sèket setunggal
2.000
rong èwu
kalih èwu
5.000
limang èwu
gangsal èwu
10.000
sepuluh èwu
sedasa èwu
100.000
satus èwu
setunggal atus èwu
500.000
limang atus èwu
gangsal atus èwu
1.000.000
sayuta
setunggal yuta
1.562.155
sayuta limang atus swidak loro èwu satus sèket lima
setunggal yuta gangsal atus swidak kalih èwu setunggal atus sèket gangsal

Fraksi

  • 1/2 setengah, separo, sepalih (Krama)
  • 1/4 saprapat, seprasekawan (Krama)
  • 3/4 telung prapat, tigang prasekawan (Krama)
  • 1,5 karo tengah, kalih tengah (Krama)















BAB IV

Sastra Jawa

Sastra Jawa
Sastra terkait
l  b  s
Sejarah Sastra Jawa dimulai dengan sebuah prasasti yang ditemukan di daerah Sukabumi (Sukobumi), Pare, Kediri Jawa Timur. Prasasti yang biasa disebut dengan nama Prasasti Sukabumi ini bertarikh 25 Maret tahun 804 Masehi. Isinya ditulis dalam bahasa Jawa Kuna.
Setelah prasasti Sukabumi, ditemukan prasasti lainnya dari tahun 856 M yang berisikan sebuah sajak yang disebut kakawin. Kakawin yang tidak lengkap ini adalah sajak tertua dalam bahasa Jawa (Kuna).
Biasanya sejarah sastra Jawa dibagi dalam empat masa:
Terdapat pula kategori Sastra Jawa-Bali, yang berkembang dari Sastra Jawa Tengahan. Selain itu, ada pula Sastra Jawa-Lombok, Sastra Jawa-Sunda, Sastra Jawa-Madura, dan Sastra Jawa-Palembang.
Dari semua sastra tradisional Nusantara, sastra Jawa adalah yang paling berkembang dan paling banyak tersimpan karya sastranya. Tetapi setelah proklamasi RI, tahun 1945 sastra Jawa agak dianaktirikan karena di Negara Kesatuan RI, kesatuan yang diutamakan.
Bahasa Jawa pertama-tama ditulis dalam aksara turunan aksara Pallawa yang berasal dari India Selatan. Aksara ini yang menjadi cikal bakal aksara Jawa modern atau Hanacaraka yang masih dipakai sampai sekarang. Dengan berkembangnya agama Islam pada abad ke-15 dan ke-16, huruf Arab juga dipergunakan untuk menulis bahasa Jawa; huruf ini disebut dengan nama huruf pegon. Ketika bangsa Eropa menjajah Indonesia, termasuk Jawa, abjad Latin pun digunakan untuk menulis bahasa Jawa.

Kategori sastra Jawa

Sastra Jawa secara global bisa dibagi menjadi dua kategori yaitu yang ditulis dalam bentuk prosa atau puisi. Dalam bentuk prosa biasanya disebut gancaran dan dalam bentuk puisi biasa disebut dengan istilah tembang. Sebagian besar karya sastra Jawa ditulis dalam bentuk tembang mulai dari awal bahkan sampai saat ini. Untuk informasi lebih lanjut silakan lihat artikel: Tembang dalam Sastra Jawa.

 







BAB V

Kepercayaan

Orang Jawa sebagian besar secara nominal menganut agama Islam. Tetapi ada juga yang menganut agama Protestan dan Katolik. Mereka juga terdapat di daerah pedesaan. Penganut agama Buddha dan Hindu juga ditemukan pula di antara masyarakat Jawa. Ada pula agama kepercayaan suku Jawa yang disebut sebagai agama Kejawen. Kepercayaan ini terutama berdasarkan kepercayaan animisme dengan pengaruh Hindu-Buddha yang kuat. Masyarakat Jawa terkenal akan sifat sinkretisme kepercayaannya. Semua budaya luar diserap dan ditafsirkan menurut nilai-nilai Jawa sehingga kepercayaan seseorang kadangkala menjadi kabur.
Profesi
Mayoritas orang Jawa berprofesi sebagai petani, namun di perkotaan mereka mendominasi pegawai negeri sipil, BUMN, anggota DPR/DPRD, pejabat eksekutif, pejabat legislatif, pejabat kementerian dan militer. Orang Jawa adalah etnis paling banyak di dunia artis dan model. Orang Jawa juga banyak yang bekerja di luar negeri, sebagai buruh kasar dan pembantu rumah tangga. Orang Jawa mendominasi tenaga kerja Indonesia di luar negeri terutama di negara Malaysia, Singapura, Filipina, Jepang, Arab Saudi, Kuwait, Qatar, Uni Emirat Arab, Taiwan, AS dan Eropa.

Stratifikasi sosial

Masyarakat Jawa juga terkenal akan pembagian golongan-golongan sosialnya. Pakar antropologi Amerika yang ternama, Clifford Geertz, pada tahun 1960-an membagi masyarakat Jawa menjadi tiga kelompok: kaum santri, abangan dan priyayi. Menurutnya kaum santri adalah penganut agama Islam yang taat, kaum abangan adalah penganut Islam secara nominal atau penganut Kejawen, sedangkan kaum Priyayi adalah kaum bangsawan. Tetapi dewasa ini pendapat Geertz banyak ditentang karena ia mencampur golongan sosial dengan golongan kepercayaan. Kategorisasi sosial ini juga sulit diterapkan dalam menggolongkan orang-orang luar, misalkan orang Indonesia lainnya dan suku bangsa non-pribumi seperti orang keturunan Arab, Tionghoa, dan India.

Budaya

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/a/ab/COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Een_jonge_Javaan_te_Semarang_Java_TMnr_10002811.jpg/180px-COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Een_jonge_Javaan_te_Semarang_Java_TMnr_10002811.jpg
Seorang pemuda berpakaian tradisional Jawa dengan kelengkapan: blangkon, kain batik, dan keris (1913).
Mitos asal-usul pulau Jawa serta gunung-gunung berapinya diceritakan dalam sebuah kakawin, bernama Tantu Pagelaran. Komposisi etnis di pulau Jawa secara relatif dapat dianggap homogen, meskipun memiliki populasi yang besar dibandingkan dengan pulau-pulau besar lainnya di Indonesia. Terdapat dua kelompok etnis utama asli pulau ini, yaitu etnis Jawa dan etnis Sunda. Etnis Madura dapat pula dianggap sebagai kelompok ketiga; mereka berasal dari pulau Madura yang berada di utara pantai timur Jawa, dan telah bermigrasi secara besar-besaran ke Jawa Timur sejak abad ke-18.[14] Jumlah orang Jawa adalah sekitar dua-pertiga penduduk pulau ini, sedangkan orang Sunda mencapai 20% dan orang Madura mencapai 10%.[14]

Seni

Orang Jawa terkenal dengan budaya seninya yang terutama dipengaruhi oleh agama Hindu-Buddha, yaitu pementasan wayang. Repertoar cerita wayang atau lakon sebagian besar berdasarkan wiracarita Ramayana dan Mahabharata. Selain pengaruh India, pengaruh Islam dan Dunia Barat ada pula. Seni batik dan keris merupakan dua bentuk ekspresi masyarakat Jawa. Musik gamelan, yang juga dijumpai di Bali memegang peranan penting dalam kehidupan budaya dan tradisi Jawa.
BAB VI
Upacara Pengantenan
Upacara pengantenan adat Jawa iku salah sijining upacara sakral adat Jawa sing nduwé rangkeyan-rangkeyan upacara lan tata cara sing wis pakem. Upacara pengantenan iki ngelambangake pertemuan antara penganten putri lan penganten kakung neng suasana sing kusus lan dilambangake dadi pasangan raja lan ratu.Rangkeyan inti upacara umume diselenggaraake neng dalèmé penganten putri, dadi sing dadi penyelenggara utawa tuan umah yaiku wongtua utawa kaluarga penganten putri ning tetep dibantu kaluarga penganten kakung.
Rangkeyan upacara-upacara pengantenan adat Jawa iku seje-seje miturut dhaerah uga diselenggaraake sesuai kemampuan ekonomi sosial kaluargane.Upacara-upacara penganten adat Jawa antarane:
Lamaran
Kanggo tulisan luwih gamblang prakawis iki mangga pirsani: Lamaran pengantenan
Upacara
lamaran iku upacara kanggo nrima kaluarga calon penganten kakung neng dalèmé calon penganten putri. Upacara iki dadi tanda yen wongtua utawa kaluarga manten putri setuju yen putrine didaeake pasangan urip calon penganten kakung.Neng acara lamaran iki biasane sekalian kanggo nento'ake dina utawa tanggal penyelenggaraan rangkeyan upacara lanjutane, utamane tanggal pesta penganten.
Siraman
Kanggo tulisan luwih gamblang prakawis iki mangga pirsani: Siraman Acara siraman iku sejati upacara perlambang kanggo ngresi'ake jiwa calon penganten. Upacara iki diselenggaraake sedina sedurung ijab kabul lan dilako'ake neng umah masing-masing calon manten, umume neng bagian umah sing radha terbuka kaya neng halaman mburi umah utawa neng taman ngarepan umah. Sing nyiram pertama biasane wong tua calon manten banjur sedulur liyane uga pemaes.
Midodaren
Kanggo tulisan luwih gamblang prakawis iki mangga pirsani: Midodaren
Tembung midodaren iku asale saka
basa Jawa yaiku widodari utawa bidadari neng basa Indonesia. Acara iki ngandung makna yen mbengi sakdurunge acara pengantenan iku, kabeh para widadari mudhun saka suwarga kanggo aweh pengestu uga kanggo pralambang yen sesuk neng acara utama, penganten putrine bakal ayu kaya widodari.
Neng acara iki penganten putri ora metu saka kamar wiwit jam 6 sore nganti tengah wengi lan dikancani dening sedulur-sedulur putrine sing ngancani sinambi aweh nasihat.
Rangkeyan acara neng wengi midodaren iki seje-seje neng saben dhaerah, kadhang ana sing barengake karo acara peningsetan lan srah srahan.
Srah-srahan
Srah-srahan iku disebut ugo "asok tukon" yaiku pihak kakung nyerahake uba rampe lan biaya sing bakal kanggo ngleksanakake pesta pengantenan. Contone uba rampe iku beras, sayuran, pitik, jajan pasar lan liyo-liyane. Sakliyane iku sing paling penting ono ing papasrahan yaiku duwit sing tumprape pihak estri bakal dienggo mbiayai pas acara pesta penganten.
Ijab kabul
yaiku nang ngendi penganten lanang kuwi ngucapke janji nang ngendi kwi di delok karo wong akeh kanggo saksi yen wong loro kwi nikahe sah.
Upacara panggih
Sak rampunge acara ijab kabul (akad nikah)dileksanakake acara Panggih, ing acara iki kembang mayang digowo metu seko omah lan di delehake neng prapatan cedak omah sing tujuanne kanggo ngusir roh jahat. Sak wise iku penganten putri ketemu (panggih) karo penganten kakung sak perlu nerusake upacara: balang suruh, Wiji dadi, Pupuk, Sinduran, Timbang, Kacar-kucur, Dahar klimah, Mertui lan Sungkeman.
Upacara balangan suruh
Upacara balang suruh minongko perlambang sih katresnan lan kasetian ing antarane penganten kakung lan putri.
Upacara wiji dadi
Penganten kakung ngidak endog pitik nganti pecah, banjur penganten putri ngmbah/ngresiki sikil/ampeyane penganten kakung nganggo banyu kembang. Upacara iki minongko perlambang sawijining kepala keluarga sing tanggung jawab mring keluarga.
Pupuk
Ibu penganten putri ngusap-usap sirah/mustaka mantu kakung minongko tondho ikhlas nompo dadi bageane kulawargo.
Sinduran
Lumampah alon-alon kanthi nyampirake kain sindur, minongko tondho pinanganten sak kloron wis tinompo dadi kulowargo.
Timbang
Pinanganten sak kloron lungguh neng pangkonane Bapake penganten putri, minongko perlambang sih katresnane wong tuwo marang anak lan mantu soho besan.
Kacar-kucur
Kacar-kucur wujud dhuwit logam, beras lan uborampe liyane sing di kucurke ono pangkonane penganten putri minongko perlambang paweh nafkah.
Dahar Klimah
Penganten sak kloron dahar dulang-dulangan minongko perlambang pinanganten sak kloron arep urip susah lan seneng kanthi bebarengan.
Mertui
Wong tuwane penganten putri methuk wong tuwane penganten kakung neng ngarep omah lan bebarengan tindak neng acara resepsi.
Sungkeman
Pinanganten sak kloron sungkem nyuwun pangestu marang wong tuwa.
Kenduren / resepsi
Kenduren utawa kenduri iku dadi puncak acara pengantenan, uga kadang diarani resepsi utawa walimahan. Sejatine kagiatan iki nduwe makna upacara selametan, selamet merga inti acarane yaiku ijab kabul wis rampung diselenggaraake. Neng acara iki, pasangan penganten nerima ucapan selamat saka kerabat, kanca uga kabeh sing hadir neng acara iki
Upacara adat Jawa
Saka Wikipédia, Ènsiklopédhi Bébas ing basa Jawa / Saking Wikipédia, Bauwarna Mardika mawi basa Jawi
Langsung menyang: pandhu arah, golèk
Ing kabudayan Jawa akeh upacara-upacara adat sing umum diselenggarake, antarane:
Wètèngan (nèmbé mbobot)
Klairan
Bocah
Lajang
Jaka & Prawan

Tilar/Seda

Sing ana hubungane karo alam
Sing ana hubungane karo agama / kapercayaan
Liyane










BAB VII

Hukum Adat

Hukum adat Jawa

Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, India, dan Tiongkok. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis.

Aneka Hukum Adat

Hukum Adat berbeda di tiap daerah karena pengaruh
  1. Agama : Hindu, Budha, Islam, Kristen dan sebagainya. Misalnya : di Pulau Jawa dan Bali dipengaruhi agama Hindu, Di Aceh dipengaruhi Agama Islam, Di Ambon dan Maluku dipengaruhi agama Kristen.
  2. Kerajaan seperti antara lain: Sriwijaya, Airlangga, Majapahit.
  3. Masuknya bangsa-bangsa Arab, China, Eropa.







KESIMPULAN
Suku Jawa (Jawa ngoko: wong Jowo, krama: tiyang Jawi) merupakan suku bangsa terbesar di Indonesia yang berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta. Setidaknya 41,7% penduduk Indonesia merupakan etnis Jawa. [1] Selain di ketiga propinsi tersebut, suku Jawa banyak bermukim di Lampung, Banten, Jakarta, dan Sumatera Utara. Di Jawa Barat mereka banyak ditemukan di Kabupaten Indramayu dan Cirebon. Suku Jawa juga memiliki sub-suku, seperti Osing dan Tengger.
Jawa adalah sebuah pulau di Indonesia dengan penduduk 136 juta, pulau ini merupakan pulau berpenduduk terpadat di dunia dan merupakan salah satu wilayah berpenduduk terpadat di dunia. Pulau ini dihuni oleh 60% penduduk Indonesia. Ibu kota Indonesia, Jakarta, terletak di Jawa bagian barat. Banyak sejarah Indonesia berlangsung di pulau ini. Jawa dahulu merupakan pusat dari beberapa kerajaan Hindu-Budha, kesultanan Islam, pemerintahan kolonial Hindia Belanda, serta pusat pergerakan kemerdekaan Indonesia. Pulau ini berdampak sangat besar terhadap kehidupan sosial, politik, dan ekonomi Indonesia.
Jawa adalah pulau yang sebagian besar terbentuk dari aktivitas vulkanik, merupakan pulau ketiga belas terbesar di dunia, dan terbesar kelima di Indonesia. Deretan gunung-gunung berapi membentuk jajaran yang terbentang dari timur hingga barat pulau ini. Terdapat tiga bahasa utama di pulau ini, namun mayoritas penduduk menggunakan bahasa Jawa. Bahasa Jawa merupakan bahasa ibu dari 60 juta penduduk Indonesia, dan sebagian besar penuturnya berdiam di pulau Jawa. Sebagian besar penduduk adalah bilingual, yang berbahasa Indonesia baik sebagai bahasa pertama maupun kedua. Sebagian besar penduduk Jawa adalah Muslim, namun terdapat beragam aliran kepercayaan, agama, kelompok etnis, serta budaya di pulau ini.
Pulau ini secara administratif terbagi menjadi empat provinsi, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Banten; serta dua wilayah khusus, yaitu DKI Jakarta dan DI Yogyakarta.

Daftar Pustaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar