KATA PENGANTAR
Segala
puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya
sehingga penulis dapat menyelsaikan tugas kelompok makalah ini dengan judul “budaya masyarakat jawa”
sebagai salah satu syarat dalam mata kuliah pengantar ilmu sosial.
Penulis
sangat menyadari akan keterbatasan kemampuan, pengetahuan dan pengalaman serta
sumber informasi berkaitan dengan makalah ini. Untuk itu penulis sangat
mengharapkan berbagai masukan, baik dari dosen pembimbing, rekan-rekan dan
pihak lain berupa kritik yang membangun agar makalah ini menjadi lebih baik
lagi.
Dengan
tersusunya makalah ini, penulis menghaturkan terima kasih yang tak terhingga
kepada bapak rudy gunawan. Selaku dosen pembimbing dan rekan-rekan di kelas
serta pihak lain yang turut membantu dalam menyelsaikan makalah ini.
Jakarta ,09 Januari 2012
Penulis
Ajeng Setyarini
Fajar
Sapto Aji
Daftar Isi
Kata Pengantar........................................................................................................................1
Daftar Isi..................................................................................................................................2
Pendahuluan............................................................................................................................3
BAB I Etimologi dan Sejarah.............................................................................................................4
BAB II
Geografi...................................................................................................................................6
Demografi...............................................................................................................................8
BAB III
Bahasa.....................................................................................................................................9
BAB IVSastra Jawa............................................................................................................................20
BAB V
Kepercayaan, Profesi dan Stratifikasi Sosial........................................................................22
Budaya Dan Seni...................................................................................................................23
BAB VI
Upacara Pengantenan............................................................................................................24
BAB VII
Hukum Adat..........................................................................................................................30
Kesimpulan...........................................................................................................................31
Daftar Pustaka.......................................................................................................................32
Pendahuluan
Sejarah Pulau Jawa (The
History of Java) adalah buku yang dikarang oleh Sir Thomas Stamford Raffles dan diterbitkan
pada tahun 1817.
Dalam buku ini,
Raffles yang memerintah sebagai Gubernur-Jendral
di Hindia-Belanda
dari tahun 1811-1816 menuliskan mengenai keadaan penduduk di pulau Jawa, adat-istiadat,
keadaan geografi, sistem pertanian, sistem perdagangan, bahasa dan agama yang
ada di pulau Jawa pada waktu itu. Buku ini diterbitkan dalam dua bendel (volume
I: 479 halaman, dan volume II: 291 halaman, dilengkapi dengan banyak halaman
bergambar) dan dicetak ulang pada tahun 1965 oleh Oxford
University Press di London.
Pada salah satu
bab dari buku ini, Raffles menceritakan mengenai upacara adat yang dilakukan
dalam penyambutan kelahiran bayi, dalam perkawinan, dan pada upacara kematian
yang biasa dilakukan sejak zaman dulu kala hingga pada saat itu. Buku ini juga
berisi tentang upacara selamatan dan perayaan yang menampilkan tarian
tradisional dan pertunjukkan wayang pada abad ke-19 dan sebelumnya. Buku ini merupakan buku
yang berbeda dengan buku Babad Tanah Jawi yang dikarang oleh carik Braja
pada zaman pemerintahan Sunan Pakubuwono III di Surakarta.
BAB I
Etimologi
Asal mula nama
'Jawa' tidak jelas. Salah satu kemungkinan adalah nama pulau ini berasal dari
tanaman jáwa-wut,
yang banyak ditemukan di pulau ini pada masa purbakala, sebelum masuknya
pengaruh India pulau ini mungkin memiliki banyak nama. Ada pula dugaan bahwa
pulau ini berasal dari kata jaú yang berarti "jauh".Dalam Bahasa
Sanskerta yava berarti tanaman jelai, sebuah tanaman yang
membuat pulau ini terkenal. "Yawadvipa" disebut dalam epik India Ramayana.
Sugriwa, panglima bangsa wanara (kera) pasukan Rama mengirimkan utusannya
ke Yawadvipa (pulau Jawa), untuk mencari Shinta. Kemudian
berdasarkan kesusastraan India terutama pustaka Tamil, disebut dengan nama
Sanskerta "yāvaka dvīpa" (dvīpa = pulau). Sumber lain mengajukan
dugaan bahwa kata "Jawa" berasal dari akar kata dalam bahasa
Proto-Austronesia, yang berarti 'rumah'.
Sejarah
Pemandangan Gunung Merbabu yang dikelilingi
persawahan. Topografi vulkanik serta tanah pertanian yang subur merupakan
faktor penting dalam sejarah pulau Jawa.
Sisa-sisa fosil
Homo erectus,
yang populer dijuluki "Si Manusia Jawa",
ditemukan di sepanjang daerah tepian Sungai Bengawan Solo, dan peninggalan
tersebut berasal dari masa 1,7 juta tahun yang lampau.
Pulau Jawa yang
sangat subur dan bercurah hujan tinggi memungkinkan berkembangnya budidaya padi
di lahan basah, sehingga mendorong terbentuknya tingkat kerjasama antar desa
yang semakin kompleks. Dari aliansi-aliansi desa tersebut, berkembanglah
kerajaan-kerajaan kecil. Jajaran pegunungan vulkanik dan dataran-dataran tinggi
yang sekitarnya di sepanjang pulau Jawa membuat menyebabkan daerah-daerah
interior pulau ini beserta masyarakatnya secara relatif terpisahkan dari
pengaruh luar. Di masa sebelum berkembangnya negara-negara Islam serta
kedatangan kolonialisme Eropa, sungai-sungai yang ada merupakan utama
perhubungan masyarakat, meskipun kebanyakan sungai di Jawa beraliran pendek.
Hanya Sungai Brantas dan Bengawan Solo yang dapat
menjadi sarana penghubung jarak jauh, sehingga pada lembah-lembah sungai
tersebut terbentuklah pusat dari kerajaan-kerajaan yang besar.
Diperkirakan
suatu sistem perhubungan yang terdiri dari jaringan jalan, jembatan permanen,
serta pos pungutan cukai telah terbentuk di pulau Jawa setidaknya pada
pertengahan abad ketujuh belas. Para penguasa lokal memiliki kekuasaan atas
rute-rute tersebut, musim hujan yang lebat dapat pula mengganggu perjalanan,
dan demikian pula penggunakan jalan-jalan sangat tergantung pada pemeliharaan
yang terus-menerus. Dapatlah dikatakan bahwa perhubungan antar penduduk pulau
Jawa pada masa itu adalah sulit.
BAB II
Geografi
Jawa
bertetangga dengan Sumatera di sebelah barat, Bali di timur, Kalimantan
di utara, dan Pulau Christmas di selatan. Pulau Jawa
merupakan pulau ke-13 terbesar di dunia.
Perairan yang mengelilingi pulau ini ialah Laut Jawa
di utara, Selat Sunda
di barat, Samudera Hindia di selatan, serta Selat Bali
dan Selat Madura
di timur.
Jawa memiliki
luas sekitar 139.000 km2. Sungai yang
terpanjang ialah Bengawan Solo, yaitu sepanjang 600 km. Sungai
ini bersumber di Jawa bagian tengah, tepatnya di gunung berapi Lawu.
Aliran sungai kemudian mengalir ke arah utara dan timur, menuju muaranya di Laut Jawa
di dekat kota Surabaya.
Hampir
keseluruhan wilayah Jawa pernah memperoleh dampak dari aktivitas gunung berapi.
Terdapat tiga puluh delapan gunung yang terbentang dari timur ke barat pulau ini, yang
kesemuanya pada waktu tertentu pernah menjadi gunung berapi aktif. Gunung
berapi tertinggi di Jawa adalah Gunung Semeru
(3.676 m), sedangkan gunung berapi paling aktif di Jawa dan bahkan di Indonesia
adalah Gunung Merapi (2.968 m). Gunung-gunung dan
dataran tinggi yang berjarak berjauhan membantu wilayah pedalaman terbagi
menjadi beberapa daerah yang relatif terisolasi dan cocok untuk persawahan lahan basah.
Lahan persawahan padi di Jawa adalah salah satu yang tersubur di dunia.
LETAK DAN KEADAAN GEOGRAFIS
Lokasi
|
:
|
108o40’ – 108o48’
Bujur Timur
|
|
|
6o 30’ – 7o
00’ Lintang Selatan
|
Luas ( daerah administrasi )
|
:
|
990,36 Km2
|
Jarak Terjauh
|
:
|
Barat –
Timur 54 Km
|
|
|
Utara –
Selatan 39 Km
|
Ketinggian ( dari permukaan laut
)
|
:
|
0 – 130 m
|
Jenis Tanah
|
:
|
Litasol
Aluvial
Grumosol
Mediteran
Latasol
Potsolik
Regosol
Gleihumus
|
Demografi
Dengan populasi
sebesar 136 juta jiwaPulau Jawa adalah yang menjadi tempat tinggal lebih dari
57% populasi Indonesia. Dengan kepadatan 1.029 jiwa/km²,pulau ini juga menjadi
salah satu pulau di dunia yang paling dipadati penduduk. Sekitar 45% penduduk
Indonesia berasal dari etnis Jawa. Walaupun demikian sepertiga bagian barat
pulau ini (Jawa Barat, Banten, dan Jakarta) memiliki kepadatan penduduk lebih
dari 1.400 jiwa/km2.
Sejak tahun
1970-an hingga kejatuhan Suharto pada tahun 1998, pemerintah Indonesia
melakukan program transmigrasi untuk memindahkan sebagian
penduduk Jawa ke pulau-pulau lain di Indonesia yang lebih luas. Program ini
terkadang berhasil, namun terkadang menghasilkan kon
BAB III
Bahasa
Suku bangsa
Jawa sebagian besar menggunakan bahasa Jawa
dalam bertutur sehari-hari. Dalam sebuah survei yang diadakan majalah Tempo
pada awal dasawarsa
1990-an, kurang lebih hanya 12% orang Jawa yang menggunakan bahasa
Indonesia sebagai bahasa mereka sehari-hari, sekitar 18% menggunakan
bahasa Jawa dan Indonesia secara campur, dan selebihnya hanya menggunakan
bahasa Jawa saja.
Bahasa Jawa
memiliki aturan perbedaan kosa kata dan intonasi berdasarkan hubungan antara
pembicara dan lawan bicara, yang dikenal dengan unggah-ungguh. Aspekebahasaan
ini memiliki pengaruh sosial yang kuat dalam budaya Jawa, dan membuat orang
Jawa biasanya sangat sadar akan status sosialnya di masyarakat.
Bahasa Jawa
|
||
ꦧꦱꦗꦮ (Basa Jawa)
|
||
Dituturkan di
|
||
Jumlah penutur
|
sekitar total 80 juta
|
|
12
|
||
§ Bahasa Jawa
|
||
Kode-kode bahasa
|
||
jv
|
||
jav
|
||
variously:
jav – bahasa Jawa jvn – bahasa Jawa Karibia jas – bahasa Jawa Kaledonia Baru osi – bahasa Osing tes – bahasa Tengger kaw – bahasa Jawa Kuna |
Bahasa Jawa adalah
bahasa yang digunakan penduduk suku bangsa Jawa di Jawa Tengah,Yogyakarta
& Jawa Timur.
Selain itu, Bahasa Jawa juga digunakan oleh penduduk yang tinggal beberapa
daerah lain seperti di Banten terutama kota Serang,
kabupaten Serang,
kota Cilegon
dan kabupaten Tangerang, Jawa Barat
khususnya kawasan Pantai utara terbentang dari pesisir utara Karawang, Subang,
Indramayu, kota Cirebon
dan kabupaten Cirebon.
Penyebaran Bahasa Jawa
Penduduk Jawa
yang merantau, membuat bahasa Jawa bisa ditemukan di berbagai daerah bahkan di
luar negeri. Banyaknya orang Jawa yang merantau ke Malaysia turut membawa
bahasa dan kebudayaan Jawa ke Malaysia, sehingga terdapat kawasan pemukiman mereka yang
dikenal dengan nama kampung Jawa, padang Jawa. Di samping itu, masyarakat
pengguna Bahasa Jawa juga tersebar di berbagai wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Kawasan-kawasan luar Jawa yang didominasi etnis Jawa atau dalam persentase yang
cukup signifikan adalah : Lampung (61,9%), Sumatra Utara
(32,6%), Jambi
(27,6%), Sumatera Selatan (27%). Khusus masyarakat Jawa
di Sumatra Utara,
mereka merupakan keturunan para kuli kontrak yang dipekerjakan di berbagai
wilayah perkebunan tembakau, khususnya di wilayah Deli
sehingga kerap disebut sebagai Jawa Deli atau Pujakesuma (Putra
Jawa Kelahiran Sumatera), dengan dialek dan beberapa kosa kata Jawa Deli.
Sedangkan masyarakat Jawa di daerah lain disebarkan melalui program transmigrasi
yang diselenggarakan semenjak zaman penjajahan Belanda.
Selain di
kawasan Nusantara,
masyarakat Jawa juga ditemukan dalam jumlah besar di Suriname,
yang mencapai 15% dari penduduk secara keseluruhan, kemudian di Kaledonia
Baru bahkan sampai kawasan Aruba dan Curacao
serta Belanda.
Sebagian kecil bahkan menyebar ke wilayah Guyana
Perancis dan Venezuela. Pengiriman tenaga kerja ke Korea, Hong Kong,
serta beberapa negara Timur Tengah juga memperluas wilayah sebar
pengguna bahasa ini meskipun belum bisa dipastikan kelestariannya.
Fonologi
Dialek baku
bahasa Jawa, yaitu yang didasarkan pada dialek Jawa Tengah, terutama dari
sekitar kota Surakarta
dan Yogyakarta
memiliki fonem-fonem
berikut:
Vokal:
Depan
|
Tengah
|
Belakang
|
i
|
|
u
|
e
|
ə
|
o
|
(ɛ)
|
|
(ɔ)
|
|
a
|
|
Konsonan:
|
Labial
|
Dental
|
Alveolar
|
Retrofleks
|
Palatal
|
Velar
|
Glotal
|
Letupan
|
p b
|
t d
|
|
ʈ ɖ
|
tʃ dʒ
|
k g
|
ʔ
|
Frikatif
|
|
|
s
|
(ʂ)
|
|
|
h
|
Likuida & semivokal
|
w
|
l
|
r
|
|
j
|
|
|
Sengau
|
m
|
n
|
|
(ɳ)
|
ɲ
|
ŋ
|
|
Perhatian: Fonem-fonem antara tanda kurung merupakan alofon. Catatan pembaca
pakar bahasa Jawa: Dalam bahasa Jawa [a],[ɔ], dan [o] itu membedakan makna [baba?] 'luka'; [bɔbɔ?]'param' atau 'lobang', sikile
di-bɔbɔ?i 'kakinya diberi param', lawange dibɔbɔ?i 'pintunya dilubangi'; dan
[bobo?] 'tidur'. [warɔ?] 'rakus'
sedang [wara?] 'badak'; [lɔr] 'utara'
sedangkan [lar] 'sayap', [gəɖɔŋ?] 'gedung'
sedangkan [gəɖaŋ?] 'pisang; [cɔrɔ]'cara' sedang [coro] 'kecoak', [lɔrɔ]'sakit' sedang [loro] 'dua', dan
[pɔlɔ] 'pala/rempah-rempah' sedang [polo] 'otak'. Dengan demikian, bunyi
[ɔ] itu bukan alofon [a] ataupun
alofon [o] melainkan fonem tersendiri.
Penjelasan Vokal
Tekanan kata (stress)
direalisasikan pada suku kata kedua dari belakang, kecuali apabila sukukata
memiliki sebuah pepet sebagai vokal. Pada kasus seperti ini, tekanan kata jatuh
pada sukukata terakhir, meskipun sukukata terakhir juga memuat pepet. Apabila
sebuah kata sudah diimbuhi dengan afiks, tekanan kata tetap mengikuti tekanan
kata kata dasar. Contoh: /jaran/ (kuda) dilafazkan sebagai [j'aran] dan
/pajaranan/ (tempat kuda) dilafazkan sebagai [paj'aranan].
Semua vokal
kecuali /ə/, memiliki alofon. Fonem /a/ pada posisi tertutup dilafazkan sebagai [a],
namun pada posisi terbuka sebagai [ɔ].
Contoh: /lara/ (sakit) dilafazkan sebagai [l'ɔrɔ], tetapi /larane/ (sakitnya)
dilafazkan sebagai [l'arane]
Fonem /i/ pada
posisi terbuka dilafazkan sebagai [i] namun pada posisi tertutup lafaznya
kurang lebih mirip [e]. Contoh: /panci/ dilafazkan sebagai [p'aɲci] , tetapi /kancil/ kurang lebih dilafazkan sebagai [k'aɲcel].
Fonem /u/ pada
posisi terbuka dilafazkan sebagai [u] namun pada posisi tertutup lafaznya
kurang lebih mirip [o]. Contoh: /wulu/ (bulu) dilafazkan sebagai [w'ulu] ,
tetapi /ʈuyul/ (tuyul) kurang lebih
dilafazkan sebagai [ʈ'uyol].
Fonem /e/ pada
posisi terbuka dilafazkan sebagai [e] namun pada posisi tertutup sebagai [ɛ]. Contoh: /lele/ dilafazkan sebagai [l'ele] , tetapi /bebek/
dilafazkan sebagai [b'ɛbɛʔ].
Fonem /o/ pada
posisi terbuka dilafazkan sebagai [o] namun pada posisi tertutup sebagai [ɔ]. Contoh: /loro/ dilafazkan sebagai [l'oro] , tetapi /boloŋ/
dilafazkan sebagai [b'ɔlɔŋ].
Penjelasan Konsonan
Fonem /k/
memiliki sebuah alofon.
Pada posisi terakhir, dilafazkan sebagai [ʔ]. Sedangkan pada posisi tengah dan awal tetap sebagai [k].
Fonem /n/
memiliki dua alofon.
Pada posisi awal atau tengah apabila berada di depan fonem eksplosiva palatal
atau retrofleks,
maka fonem sengau ini akan berubah sesuai menjadi fonem homorgan. Kemudian apabila
fonem /n/ mengikuti sebuah /r/, maka akan menjadi [ɳ] (fonem sengau retrofleks). Contoh: /panjaŋ/ dilafazkan sebagai
[p'aɲjaŋ], lalu /anɖap/ dilafazkan sebagai [ʔ'aɳɖap]. Kata /warna/ dilafazkan sebagai [w'arɳɔ].
Fonem /s/
memiliki satu alofon. Apabila /s/ mengikuti fonem /r/ atau berada di depan
fonem eksplosiva retrofleks, maka akan direalisasikan sebagai [ʂ]. Contoh: /warsa/ dilafazkan sebagai [w'arʂɔ], lalu /esʈi/ dilafazkan
sebagai [ʔ'eʂʈi].
Fonotaktik
Dalam bahasa
Jawa baku, sebuah sukukata bisa memiliki bentuk seperti berikut: (n)-K1-(l)-V-K2.
Artinya ialah
Sebagai berikut:
- (n) adalah fonem sengau homorgan.
- K1 adalah konsonan eksplosiva ata likuida.
- (l) adalah likuida yaitu /r/ atau /l/, namun hanya bisa muncul kalau K1 berbentuk eksplosiva.
- V adalah semua vokal. Tetapi apabila K2 tidak ada maka fonem /ə/ tidak bisa berada pada posisi ini.
- K2 adalah semua konsonan kecuali eksplosiva palatal dan retrofleks; /c/, /j/, /ʈ/, dan /ɖ/.
Contoh:
- a
- an
- pan
- prang
- njlen
Tata Bahasa
Variasi dalam bahasa Jawa
Klasifikasi
berdasarkan dialek geografi mengacu kepada pendapat E.M. Uhlenbeck (1964) [1].
Peneliti lain seperti W.J.S. Poerwadarminta dan Hatley memiliki pendapat yang
berbeda.[rujukan?]
Kelompok Barat
- dialek Banten
- dialek Cirebon. Menurut hasil Penelitian yang dilakukan dengan menggunakan Metode Guiter, Bahasa Cirebonan memiliki Perbedaan sekitar 75% dengan Bahasa Jawa Yogya / Surakarta[2].
- dialek Tegal
- dialek Banyumasan
- dialek Bumiayu (peralihan Tegal dan Banyumas
Tiga dialek
terakhir biasa disebut Dialek Banyumasan.
Kelompok Tengah
- dialek Pekalongan
- dialek Kedu
- dialek Bagelen
- dialek Semarang
- dialek Pantai Utara Timur (Jepara, Rembang, Demak, Kudus, Pati)
- dialek Blora
- dialek Surakarta
- dialek Yogyakarta
- dialek Madiun
Kelompok kedua
ini dikenal sebagai bahasa Jawa Tengahan atau Mataraman. Dialek Surakarta dan
Yogyakarta menjadi acuan baku bagi pemakaian resmi bahasa Jawa (bahasa Jawa
Baku).
Kelompok Timur
- dialek Pantura Jawa Timur (Tuban, Bojonegoro)
- dialek Surabaya
- dialek Malang
- dialek Jombang
- dialek Tengger
- dialek Banyuwangi (atau disebut Bahasa Osing)
Kelompok ketiga
ini dikenal sebagai bahasa Jawa Wetanan (Timur).
Register (undhak-undhuk basa)
Bahasa Jawa
mengenal undhak-undhuk basa dan menjadi bagian integral dalam tata krama
(etiket) masyarakat Jawa dalam berbahasa. Dialek Surakarta biasanya menjadi
rujukan dalam hal ini. Bahasa Jawa bukan satu-satunya bahasa yang mengenal hal
ini karena beberapa bahasa Austronesia lain dan bahasa-bahasa Asia Timur
seperti bahasa Korea dan bahasa Jepang juga mengenal hal semacam ini. Dalam sosiolinguistik,
undhak-undhuk merupakan salah satu bentuk register.
Terdapat tiga
bentuk utama variasi, yaitu ngoko ("kasar"), madya
("biasa"), dan krama ("halus"). Di antara masing-masing bentuk
ini terdapat bentuk "penghormatan" (ngajengake, honorific)
dan "perendahan" (ngasorake, humilific). Seseorang
dapat berubah-ubah registernya pada suatu saat tergantung status yang
bersangkutan dan lawan bicara. Status bisa ditentukan oleh usia, posisi sosial,
atau hal-hal lain. Seorang anak yang bercakap-cakap dengan sebayanya akan
berbicara dengan varian ngoko, namun ketika bercakap dengan orang tuanya akan
menggunakan krama andhap dan krama inggil. Sistem semacam ini terutama dipakai
di Surakarta, Yogyakarta, dan Madiun. Dialek lainnya cenderung kurang memegang
erat tata-tertib berbahasa semacam ini.
Sebagai
tambahan, terdapat bentuk bagongan dan kedhaton, yang keduanya
hanya dipakai sebagai bahasa pengantar di lingkungan keraton. Dengan demikian,
dikenal bentuk-bentuk ngoko lugu, ngoko andhap, madhya, madhyantara, krama,
krama inggil, bagongan, kedhaton.
Di bawah ini
disajikan contoh sebuah kalimat dalam beberapa gaya bahasa yang berbeda-beda
ini.
- Bahasa Indonesia: "Maaf, saya mau tanya rumah Kak Budi itu, di mana?"
- Ngoko kasar: “Eh, aku arep takon, omahé Budi kuwi, nèng*ndi?’
- Ngoko alus: “Aku nyuwun pirsa, dalemé mas Budi kuwi, nèng endi?”
- Ngoko meninggikan diri sendiri: “Aku kersa ndangu, omahé mas Budi kuwi, nèng ndi?” (ini dianggap salah oleh sebagian besar penutur bahasa Jawa karena menggunakan leksikon krama inggil untuk diri sendiri)
- Madya: “Nuwun sèwu, kula ajeng tanglet, griyané mas Budi niku, teng pundi?” (ini krama desa (substandar))
- Madya alus: “Nuwun sèwu, kula ajeng tanglet, dalemé mas Budi niku, teng pundi?” (ini juga termasuk krama desa (krama substandar))
- Krama andhap: “Nuwun sèwu, dalem badhé nyuwun pirsa, dalemipun mas Budi punika, wonten pundi?” (dalem itu sebenarnya pronomina persona kedua, kagungan dalem 'kepunyaanmu'. Jadi ini termasuk tuturan krama yang salah alias krama desa)
- Krama lugu: “Nuwun sewu, kula badhé takèn, griyanipun mas Budi punika, wonten pundi?”
- Krama alus “Nuwun sewu, kula badhe nyuwun pirsa, dalemipun mas Budi punika, wonten pundi?”
*nèng adalah bentuk percakapan sehari-hari dan merupakan kependekan
dari bentuk baku ana ing yang disingkat menjadi (a)nêng.
Dengan memakai
kata-kata yang berbeda dalam sebuah kalimat yang secara tatabahasa berarti
sama, seseorang bisa mengungkapkan status sosialnya terhadap lawan bicaranya
dan juga terhadap yang dibicarakan. Walaupun demikian, tidak semua penutur
bahasa Jawa mengenal semuanya register itu. Biasanya mereka hanya mengenal ngoko
dan sejenis madya.
Bilangan dalam bahasa Jawa
Bila
dibandingkan dengan bahasa Melayu atau Indonesia,
bahasa Jawa memiliki sistem bilangan yang agak rumit.
Bahasa
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
8
|
9
|
10
|
sa
|
rwa
|
telu
|
pat
|
lima
|
enem
|
pitu
|
walu
|
sanga
|
sapuluh
|
|
eka
|
dwi
|
tri
|
catur
|
panca
|
sad
|
sapta
|
asta
|
nawa
|
dasa
|
|
setunggal
|
kalih
|
tiga
|
sekawan
|
gangsal
|
enem
|
pitu
|
wolu
|
sanga
|
sedasa
|
|
siji
|
loro
|
telu
|
papat
|
lima
|
enem
|
pitu
|
wolu
|
sanga
|
sepuluh
|
Angka
|
Ngoko
|
Krama
|
11
|
sewelas
|
setunggal
welas (sewelas)
|
12
|
rolas
|
kalih
welas
|
13
|
telulas
|
tiga
welas
|
14
|
patbelas
|
sekawan
welas
|
15
|
limalas
|
gangsal
welas
|
16
|
nembelas
|
enem
welas
|
17
|
pitulas
|
pitulas
|
18
|
wolulas
|
wolulas
|
19
|
sangalas
|
sangalas
|
20
|
rong
puluh
|
kalih
dasa
|
21
|
selikur
|
selikur/kalih
dasa setunggal
|
22
|
rolikur
|
kalih
likur
|
23
|
telulikur
|
tigang
likur
|
24
|
patlikur
|
sekawan
likur
|
25
|
selawé
|
selangkung
|
26
|
nemlikur
|
nemlikur
|
30
|
telung
puluh
|
tigang
dasa
|
31
|
telung
puluh siji
|
tigang
dasa setunggal
|
32
|
telung
puluh loro
|
tigang
dasa kalih
|
40
|
patang
puluh
|
sekawan
dasa
|
41
|
patang
puluh siji
|
sekawan
dasa setunggal
|
42
|
patang
puluh loro
|
sekawan
dasa kalih
|
50
|
sèket
|
sèket
|
51
|
sèket
siji
|
sèket
setunggal
|
52
|
sèket
loro
|
sèket
kalih
|
60
|
swidak
|
swidak
|
61
|
swidak
siji
|
swidak
setunggal
|
62
|
swidak
loro
|
swidak
kalih
|
70
|
pitung
puluh
|
pitu
dasa
|
80
|
wolung
puluh
|
wolu
dasa
|
90
|
sangang
puluh
|
sanga
dasa
|
100
|
satus
|
setunggal
atus
|
101
|
satus
siji
|
setunggal
atus setunggal
|
102
|
satus
loro
|
setunggal
atus kalih
|
120
|
satus
rong puluh
|
setunggal
atus kalih dasa
|
121
|
satus
selikur
|
setunggal
atus kalih dasa setunggal
|
200
|
rong
atus
|
kalih
atus
|
500
|
limang
atus
|
gangsal
atus
|
1.000
|
sèwu
|
setunggal
èwu
|
1.001
|
sèwu
siji
|
setunggal
èwu setunggal
|
1.002
|
sèwu
loro
|
setunggal
èwu kalih
|
1.500
|
sèwu
limang atus
|
setunggal
èwu gangsal atus
|
1.520
|
sèwu
limang atus rong puluh
|
setunggal
èwu gangsal atus kalih dasa
|
1.550
|
sèwu
limang atus sèket
|
setunggal
èwu gangsal atus sèket
|
1.551
|
sèwu
limang atus sèket siji
|
setunggal
èwu gangsal atus sèket setunggal
|
2.000
|
rong
èwu
|
kalih
èwu
|
5.000
|
limang
èwu
|
gangsal
èwu
|
10.000
|
sepuluh
èwu
|
sedasa
èwu
|
100.000
|
satus
èwu
|
setunggal
atus èwu
|
500.000
|
limang
atus èwu
|
gangsal
atus èwu
|
1.000.000
|
sayuta
|
setunggal
yuta
|
1.562.155
|
sayuta
limang atus swidak loro èwu satus sèket lima
|
setunggal
yuta gangsal atus swidak kalih èwu setunggal atus sèket gangsal
|
Fraksi
- 1/2 setengah, separo, sepalih (Krama)
- 1/4 saprapat, seprasekawan (Krama)
- 3/4 telung prapat, tigang prasekawan (Krama)
- 1,5 karo tengah, kalih tengah (Krama)
BAB IV
Sastra Jawa
Sastra Jawa
|
Sastra
terkait
|
Sejarah Sastra
Jawa dimulai dengan sebuah prasasti yang ditemukan di daerah Sukabumi (Sukobumi), Pare, Kediri Jawa Timur.
Prasasti yang biasa disebut dengan nama Prasasti
Sukabumi ini bertarikh 25 Maret
tahun 804
Masehi.
Isinya ditulis dalam bahasa Jawa Kuna.
Setelah
prasasti Sukabumi, ditemukan prasasti lainnya dari tahun 856 M yang berisikan
sebuah sajak yang disebut kakawin. Kakawin yang tidak lengkap ini adalah sajak tertua
dalam bahasa Jawa (Kuna).
Biasanya
sejarah sastra Jawa dibagi dalam empat masa:
Terdapat pula
kategori Sastra Jawa-Bali, yang berkembang dari Sastra
Jawa Tengahan. Selain itu, ada pula Sastra Jawa-Lombok, Sastra
Jawa-Sunda, Sastra Jawa-Madura, dan Sastra Jawa-Palembang.
Dari semua
sastra tradisional Nusantara, sastra Jawa adalah yang paling berkembang dan
paling banyak tersimpan karya sastranya. Tetapi setelah proklamasi RI, tahun
1945 sastra Jawa agak dianaktirikan karena di Negara Kesatuan RI, kesatuan yang
diutamakan.
Bahasa Jawa
pertama-tama ditulis dalam aksara turunan aksara
Pallawa yang berasal dari India Selatan. Aksara ini
yang menjadi cikal bakal aksara Jawa modern atau Hanacaraka
yang masih dipakai sampai sekarang. Dengan berkembangnya agama Islam pada abad ke-15 dan
ke-16, huruf Arab juga dipergunakan untuk menulis bahasa
Jawa; huruf ini disebut dengan nama huruf pegon. Ketika bangsa Eropa menjajah Indonesia,
termasuk Jawa, abjad Latin pun digunakan untuk menulis bahasa
Jawa.
Kategori sastra Jawa
Sastra Jawa
secara global bisa dibagi menjadi dua kategori yaitu yang ditulis dalam bentuk
prosa atau puisi. Dalam bentuk prosa biasanya disebut gancaran dan dalam
bentuk puisi biasa disebut dengan istilah tembang. Sebagian besar karya
sastra Jawa ditulis dalam bentuk tembang mulai dari awal bahkan sampai
saat ini. Untuk informasi lebih lanjut silakan lihat artikel: Tembang dalam
Sastra Jawa.
BAB V
Kepercayaan
Orang Jawa
sebagian besar secara nominal menganut agama Islam. Tetapi ada juga
yang menganut agama Protestan dan Katolik. Mereka juga terdapat di daerah pedesaan. Penganut
agama Buddha
dan Hindu
juga ditemukan pula di antara masyarakat Jawa. Ada pula agama kepercayaan suku
Jawa yang disebut sebagai agama Kejawen. Kepercayaan ini terutama berdasarkan kepercayaan animisme
dengan pengaruh Hindu-Buddha yang kuat. Masyarakat Jawa terkenal akan sifat sinkretisme
kepercayaannya. Semua budaya luar diserap dan ditafsirkan menurut nilai-nilai
Jawa sehingga kepercayaan seseorang kadangkala menjadi kabur.
Profesi
Mayoritas orang Jawa berprofesi
sebagai petani, namun di perkotaan mereka mendominasi pegawai negeri sipil,
BUMN, anggota DPR/DPRD, pejabat eksekutif, pejabat legislatif, pejabat
kementerian dan militer. Orang Jawa adalah etnis paling banyak di dunia artis
dan model. Orang Jawa juga banyak yang bekerja di luar negeri, sebagai buruh
kasar dan pembantu rumah tangga. Orang Jawa mendominasi tenaga kerja Indonesia
di luar negeri terutama di negara Malaysia, Singapura, Filipina, Jepang, Arab
Saudi, Kuwait, Qatar, Uni Emirat Arab, Taiwan, AS dan Eropa.
Stratifikasi sosial
Masyarakat Jawa
juga terkenal akan pembagian golongan-golongan sosialnya. Pakar antropologi
Amerika
yang ternama, Clifford Geertz, pada tahun 1960-an membagi
masyarakat Jawa menjadi tiga kelompok: kaum santri, abangan
dan priyayi.
Menurutnya kaum santri adalah penganut agama Islam yang taat, kaum
abangan adalah penganut Islam secara nominal atau penganut Kejawen, sedangkan
kaum Priyayi adalah kaum bangsawan. Tetapi dewasa ini pendapat Geertz banyak
ditentang karena ia mencampur golongan sosial dengan golongan kepercayaan.
Kategorisasi sosial ini juga sulit diterapkan dalam menggolongkan orang-orang
luar, misalkan orang Indonesia lainnya dan suku bangsa non-pribumi
seperti orang keturunan Arab, Tionghoa,
dan India.
Budaya
Seorang pemuda
berpakaian tradisional Jawa dengan kelengkapan: blangkon, kain batik,
dan keris (1913).
Mitos asal-usul
pulau Jawa serta gunung-gunung berapinya diceritakan dalam sebuah kakawin,
bernama Tantu Pagelaran. Komposisi etnis di pulau Jawa secara
relatif dapat dianggap homogen, meskipun memiliki populasi yang besar
dibandingkan dengan pulau-pulau besar lainnya di Indonesia. Terdapat dua
kelompok etnis utama asli pulau ini, yaitu etnis Jawa
dan etnis Sunda.
Etnis Madura
dapat pula dianggap sebagai kelompok ketiga; mereka berasal dari pulau Madura yang
berada di utara pantai timur Jawa, dan telah bermigrasi secara besar-besaran ke
Jawa Timur
sejak abad ke-18.[14]
Jumlah orang Jawa adalah sekitar dua-pertiga penduduk pulau ini, sedangkan
orang Sunda mencapai 20% dan orang Madura mencapai 10%.[14]
Seni
Orang Jawa
terkenal dengan budaya seninya yang terutama dipengaruhi oleh agama
Hindu-Buddha, yaitu pementasan wayang. Repertoar cerita wayang atau lakon sebagian besar
berdasarkan wiracarita
Ramayana
dan Mahabharata.
Selain pengaruh India, pengaruh Islam dan Dunia Barat ada pula. Seni batik dan keris merupakan dua bentuk
ekspresi masyarakat Jawa. Musik gamelan, yang juga dijumpai di Bali
memegang peranan penting dalam kehidupan budaya dan tradisi Jawa.
BAB VI
Upacara Pengantenan
Upacara pengantenan adat Jawa iku salah sijining
upacara sakral adat Jawa sing nduwé rangkeyan-rangkeyan upacara lan tata cara
sing wis pakem. Upacara pengantenan iki ngelambangake pertemuan antara
penganten putri lan penganten kakung neng suasana sing kusus lan
dilambangake dadi pasangan raja lan ratu.Rangkeyan inti upacara umume
diselenggaraake neng dalèmé penganten putri, dadi sing dadi penyelenggara utawa
tuan umah yaiku wongtua utawa kaluarga penganten putri ning tetep dibantu
kaluarga penganten kakung.
Rangkeyan upacara-upacara pengantenan adat Jawa iku seje-seje miturut dhaerah uga
diselenggaraake sesuai kemampuan ekonomi sosial kaluargane.Upacara-upacara
penganten adat Jawa antarane:
Lamaran
Kanggo tulisan luwih gamblang
prakawis iki mangga pirsani: Lamaran pengantenan
Upacara lamaran iku upacara kanggo nrima kaluarga calon penganten kakung neng dalèmé calon penganten putri. Upacara iki dadi tanda yen wongtua utawa kaluarga manten putri setuju yen putrine didaeake pasangan urip calon penganten kakung.Neng acara lamaran iki biasane sekalian kanggo nento'ake dina utawa tanggal penyelenggaraan rangkeyan upacara lanjutane, utamane tanggal pesta penganten.
Upacara lamaran iku upacara kanggo nrima kaluarga calon penganten kakung neng dalèmé calon penganten putri. Upacara iki dadi tanda yen wongtua utawa kaluarga manten putri setuju yen putrine didaeake pasangan urip calon penganten kakung.Neng acara lamaran iki biasane sekalian kanggo nento'ake dina utawa tanggal penyelenggaraan rangkeyan upacara lanjutane, utamane tanggal pesta penganten.
Siraman
Kanggo tulisan luwih gamblang
prakawis iki mangga pirsani: Siraman Acara siraman iku sejati upacara
perlambang kanggo ngresi'ake jiwa calon penganten. Upacara iki diselenggaraake sedina
sedurung ijab kabul lan dilako'ake neng umah
masing-masing calon manten, umume neng bagian umah sing radha terbuka kaya neng
halaman mburi umah utawa neng taman ngarepan umah. Sing nyiram pertama biasane wong tua calon manten banjur sedulur liyane uga pemaes.
Midodaren
Kanggo tulisan luwih gamblang
prakawis iki mangga pirsani: Midodaren
Tembung midodaren iku asale saka basa Jawa yaiku widodari utawa bidadari neng basa Indonesia. Acara iki ngandung makna yen mbengi sakdurunge acara pengantenan iku, kabeh para widadari mudhun saka suwarga kanggo aweh pengestu uga kanggo pralambang yen sesuk neng acara utama, penganten putrine bakal ayu kaya widodari.
Tembung midodaren iku asale saka basa Jawa yaiku widodari utawa bidadari neng basa Indonesia. Acara iki ngandung makna yen mbengi sakdurunge acara pengantenan iku, kabeh para widadari mudhun saka suwarga kanggo aweh pengestu uga kanggo pralambang yen sesuk neng acara utama, penganten putrine bakal ayu kaya widodari.
Neng acara iki penganten putri ora metu saka kamar wiwit jam
6 sore nganti tengah wengi lan dikancani dening sedulur-sedulur putrine sing
ngancani sinambi aweh nasihat.
Rangkeyan acara neng wengi midodaren iki seje-seje neng
saben dhaerah, kadhang ana sing barengake karo acara peningsetan lan srah srahan.
Srah-srahan
Srah-srahan iku disebut ugo "asok tukon" yaiku
pihak kakung nyerahake uba rampe lan biaya sing bakal kanggo ngleksanakake
pesta pengantenan. Contone uba rampe iku beras, sayuran, pitik, jajan pasar lan liyo-liyane. Sakliyane iku sing
paling penting ono ing papasrahan yaiku duwit sing tumprape pihak estri bakal dienggo mbiayai pas acara
pesta penganten.
Ijab kabul
yaiku nang ngendi penganten lanang kuwi ngucapke janji nang
ngendi kwi di delok karo wong akeh kanggo saksi yen wong loro kwi nikahe sah.
Upacara panggih
Sak rampunge acara ijab kabul (akad nikah)dileksanakake
acara Panggih, ing acara iki
kembang mayang digowo metu seko omah lan di delehake neng prapatan cedak omah
sing tujuanne kanggo ngusir roh jahat. Sak wise iku penganten putri ketemu
(panggih) karo penganten kakung sak perlu nerusake upacara: balang suruh, Wiji
dadi, Pupuk, Sinduran, Timbang, Kacar-kucur, Dahar klimah, Mertui lan
Sungkeman.
Upacara balangan suruh
Upacara balang suruh minongko perlambang sih katresnan lan
kasetian ing antarane penganten kakung lan putri.
Upacara wiji dadi
Penganten kakung ngidak endog pitik nganti pecah, banjur
penganten putri ngmbah/ngresiki sikil/ampeyane penganten kakung nganggo banyu
kembang. Upacara iki minongko perlambang sawijining kepala keluarga sing tanggung
jawab mring keluarga.
Pupuk
Ibu penganten putri ngusap-usap sirah/mustaka mantu kakung
minongko tondho ikhlas nompo dadi bageane kulawargo.
Sinduran
Lumampah alon-alon kanthi nyampirake kain sindur, minongko
tondho pinanganten sak kloron wis tinompo dadi kulowargo.
Timbang
Pinanganten sak kloron lungguh neng pangkonane Bapake
penganten putri, minongko perlambang sih katresnane wong tuwo marang anak lan
mantu soho besan.
Kacar-kucur
Kacar-kucur wujud dhuwit logam, beras lan uborampe liyane
sing di kucurke ono pangkonane penganten putri minongko perlambang paweh
nafkah.
Dahar Klimah
Penganten sak kloron dahar dulang-dulangan minongko
perlambang pinanganten sak kloron arep urip susah lan seneng kanthi bebarengan.
Mertui
Wong tuwane penganten putri methuk wong tuwane penganten
kakung neng ngarep omah lan bebarengan tindak neng acara resepsi.
Sungkeman
Pinanganten sak kloron sungkem nyuwun pangestu marang wong
tuwa.
Kenduren / resepsi
Kenduren utawa kenduri iku dadi puncak acara
pengantenan, uga kadang diarani resepsi utawa walimahan. Sejatine kagiatan iki nduwe makna upacara
selametan, selamet merga inti acarane yaiku ijab kabul wis rampung diselenggaraake. Neng
acara iki, pasangan penganten nerima ucapan selamat saka kerabat, kanca uga kabeh sing hadir neng acara iki
Upacara adat Jawa
Saka
Wikipédia, Ènsiklopédhi Bébas ing basa Jawa / Saking Wikipédia, Bauwarna
Mardika mawi basa Jawi
Wètèngan
(nèmbé mbobot)
Klairan
Bocah
Lajang
Jaka &
Prawan
Tilar/Seda
- Surtanah utawa bedhah bumi
- Nelung dina
- Mitung dina
- Matang puluh
- Nyatus
- Pendak pisan
- Pendak pindho
- Nyewu
Sing ana
hubungane karo alam
- Sedekah bumi
- Bersih desa
- Tolak bala
- lan liyane
Sing ana
hubungane karo agama / kapercayaan
Liyane
BAB VII
Hukum Adat
Hukum adat Jawa
Hukum adat adalah
sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan
negara-negara Asia
lainnya seperti Jepang,
India,
dan Tiongkok.
Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan
berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena
peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat
memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis.
Aneka Hukum Adat
Hukum Adat
berbeda di tiap daerah karena pengaruh
- Agama : Hindu, Budha, Islam, Kristen dan sebagainya. Misalnya : di Pulau Jawa dan Bali dipengaruhi agama Hindu, Di Aceh dipengaruhi Agama Islam, Di Ambon dan Maluku dipengaruhi agama Kristen.
- Kerajaan seperti antara lain: Sriwijaya, Airlangga, Majapahit.
- Masuknya bangsa-bangsa Arab, China, Eropa.
KESIMPULAN
Suku Jawa (Jawa ngoko: wong Jowo, krama: tiyang Jawi) merupakan suku bangsa
terbesar di Indonesia
yang berasal dari Jawa Tengah,
Jawa Timur, dan Yogyakarta.
Setidaknya 41,7% penduduk Indonesia merupakan etnis Jawa. [1]
Selain di ketiga propinsi tersebut, suku Jawa banyak bermukim di Lampung,
Banten,
Jakarta,
dan Sumatera Utara.
Di Jawa Barat mereka banyak
ditemukan di Kabupaten Indramayu
dan Cirebon.
Suku Jawa juga memiliki sub-suku, seperti Osing
dan Tengger.
Jawa adalah sebuah pulau di Indonesia
dengan penduduk 136 juta, pulau ini merupakan pulau berpenduduk terpadat di
dunia dan merupakan salah satu wilayah berpenduduk terpadat di dunia. Pulau ini
dihuni oleh 60% penduduk Indonesia. Ibu kota
Indonesia, Jakarta,
terletak di Jawa bagian barat. Banyak sejarah Indonesia berlangsung di pulau
ini. Jawa dahulu merupakan pusat dari beberapa kerajaan Hindu-Budha, kesultanan Islam, pemerintahan
kolonial Hindia Belanda, serta pusat pergerakan kemerdekaan Indonesia. Pulau
ini berdampak sangat besar terhadap kehidupan sosial, politik, dan ekonomi
Indonesia.
Jawa adalah
pulau yang sebagian besar terbentuk dari aktivitas vulkanik, merupakan pulau ketiga belas terbesar di dunia,
dan terbesar kelima di Indonesia. Deretan gunung-gunung berapi membentuk
jajaran yang terbentang dari timur hingga barat pulau ini. Terdapat tiga bahasa
utama di pulau ini, namun mayoritas penduduk menggunakan bahasa Jawa.
Bahasa Jawa merupakan bahasa ibu dari 60 juta penduduk Indonesia, dan sebagian
besar penuturnya berdiam di pulau Jawa. Sebagian besar penduduk adalah bilingual,
yang berbahasa Indonesia baik sebagai bahasa pertama
maupun kedua. Sebagian besar penduduk Jawa adalah Muslim, namun
terdapat beragam aliran kepercayaan, agama, kelompok etnis, serta budaya di
pulau ini.
Pulau ini
secara administratif terbagi menjadi empat provinsi, yaitu Jawa Barat,
Jawa Tengah,
Jawa Timur,
dan Banten;
serta dua wilayah khusus, yaitu DKI Jakarta
dan DI Yogyakarta.
Daftar Pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar