Kebudayaan Sunda termasuk salah satu
kebudayaan suku bangsa di Indonesia
yang berusia tua. Bahkan, dibandingkan dengan kebudayaan Jawa sekalipun,
kebudayaan Sunda sebenarnya termasuk kebudayaan yang berusia relatif lebih tua,
setidaknya dalam hal pengenalan terhadap budaya tulis. "Kegemilangan"
kebudayaan Sunda di masa lalu, khususnya semasa Kerajaan Tarumanegara dan
Kerajaan Sunda, dalam perkembangannya kemudian seringkali dijadikan acuan dalam
memetakan apa yang dinamakan kebudayaan Sunda.
Kebudayaan Sunda yang ideal pun kemudian sering dikaitkan sebagai kebudayaan raja-raja Sunda atau tokoh yang diidentikkan dengan raja Sunda. Dalam kaitan ini, jadilah sosok Prabu Siliwangi dijadikan sebagai tokoh panutan dan kebanggaan urang Sunda karena dimitoskan sebagai raja Sunda yang berhasil, sekaligus mampu memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya.
Dalam perkembangannya yang paling kontemporer, kebudayaan Sunda kini banyak mendapat gugatan kembali. Pertanyaan seputar eksistensi kebudayaan Sunda pun sering kali mencuat ke permukaan. Apakah kebudayaan Sunda masih ada? Kalau masih ada, siapakah pemiliknya? Pertanyaan seputar eksistensi kebudayaan Sunda yang tampaknya provokatif tersebut, bila dikaji dengan tenang sebenarnya merupakan pertanyaan yang wajar-wajar saja. Mengapa demikian? Jawabannya sederhana, karena kebudayaan Sunda dalam kenyataannya saat ini memang seperti kehilangan ruhnya atau setidaknya tidak jelas arah dan tujuannya. Mau dibawa ke mana kebudayaan Sunda tersebut?
Setidaknya ada empat daya hidup yang perlu dicermati dalam kebudayaan Sunda, yaitu, kemampuan beradaptasi, kemampuan mobilitas, kemampuan tumbuh dan berkembang, serta kemampuan regenerasi. Kemampuan beradaptasi kebudayaan Sunda, terutama dalam merespons berbagai tantangan yang muncul, baik dari dalam maupun dari luar, dapat dikatakan memperlihatkan tampilan yang kurang begitu menggembirakan. Bahkan, kebudayaan Sunda seperti tidak memiliki daya hidup manakala berhadapan dengan tantangan dari luar.
Akibatnya, tidaklah mengherankan bila semakin lama semakin banyak unsur kebudayaan Sunda yang tergilas oleh kebudayaan asing. Sebagai contoh paling jelas, bahasa Sunda yang merupakan bahasa komunitas urang Sunda tampak secara eksplisit semakin jarang digunakan oleh pemiliknya sendiri, khususnya para generasi muda Sunda. Lebih memprihatinkan lagi, menggunakan bahasa Sunda dalam komunikasi sehari-hari terkadang diidentikkan dengan "keterbelakangan", untuk tidak mengatakan primitif. Akibatnya, timbul rasa gengsi pada urang Sunda untuk menggunakan bahasa Sunda dalam pergaulannya sehari-hari. Bahkan, rasa "gengsi" ini terkadang ditemukan pula pada mereka yang sebenarnya merupakan pakar di bidang bahasa Sunda, termasuk untuk sekadar mengakui bahwa dirinya adalah pakar atau berlatar belakang keahlian di bidang bahasa Sunda.
Apabila kemampuan beradaptasi kebudayaan Sunda memperlihatkan tampilan yang kurang begitu menggembirakan, hal itu sejalan pula dengan kemampuan mobilitasnya. Kemampuan kebudayaan Sunda untuk melakukan mobilitas, baik vertikal maupun horizontal, dapat dikatakan sangat lemah. Oleh karenanya, jangankan di luar komunitas Sunda, di dalam komunitas Sunda sendiri, kebudayaan Sunda seringkali menjadi asing. Meskipun ada unsur kebudayaan Sunda yang memperlihatkan kemampuan untuk bermobilitas, baik secara horizontal maupun vertikal, secara umum kemampuan kebudayaan Sunda untuk bermobilitas dapat dikatakan masih rendah sehingga kebudayaan Sunda tidak saja tampak jalan di tempat tetapi juga berjalan mundur.
Berkaitan erat dengan dua kemampuan terdahulu, kemampuan tumbuh dan berkembang kebudayaan Sunda juga dapat dikatakan memperlihatkan tampilan yang tidak kalah memprihatinkan. Jangankan berbicara paradigma-paradigma baru, iktikad untuk melestarikan apa yang telah dimiliki saja dapat dikatakan sangat lemah. Dalam hal folklor misalnya, menjadi sebuah pertanyaan besar, komunitas Sunda yang sebenarnya kaya dengan folklor, seberapa jauh telah berupaya untuk tetap melestarikan folklor tersebut agar tetap "membumi" dengan masyarakat Sunda.
Kalaulah upaya untuk "membumikan" harta pusaka saja tidak ada bisa dipastikan paradigma baru untuk membuat folklor tersebut agar sanggup berkompetisi dengan kebudayaan luar pun bisa jadi hampir tidak ada atau bahkan mungkin, belum pernah terpikirkan sama sekali. Biarlah folklor tersebut menjadi kenangan masa lalu urang Sunda dan biarkanlah folklor tersebut ikut terkubur selamanya bersama para pendukungnya, begitulah barangkali ucap urang Sunda yang tidak berdaya dalam merawat dan memberdayakan warisan leluhurnya.
Berkenaan dengan kemampuan regenerasi, kebudayaan Sunda pun tampaknya kurang membuka ruang bagi terjadinya proses tersebut, untuk tidak mengatakan anti regenerasi. Budaya "kumaha akang", "teu langkung akang", "mangga tipayun", yang demikian kental melingkupi kehidupan sehari-hari urang Sunda dapat dikatakan menjadi salah satu penyebab rentannya budaya Sunda dalam proses regenerasi. Akibatnya, jadilah budaya Sunda gagap dengan regenerasi.
Generasi-generasi baru urang Sunda seperti tidak diberi ruang terbuka untuk berkompetisi dengan sehat, hanya karena kentalnya senioritas serta "terlalu majunya" pemikiran para generasi baru, yang seringkali bertentangan dengan pakem-pakem yang dimiliki generasi sebelumnya. Akibatnya, tidaklah mengherankan bila proses alih generasi dalam berbagai bidang pun berjalan dengan tersendat-sendat.
Bila pengamatan terhadap daya hidup kebudayaan Sunda melahirkan temuan-temuan yang cukup memprihatinkan, hal yang sama juga terjadi manakala tiga mustika mutu hidup kreasi Rendra digunakan untuk menjelajahi Kebudayaan Sunda, baik itu mustika tanggung jawab terhadap kewajiban, mustika idealisme maupun mustika spontanitas. Lemahnya tanggung jawab terhadap kewajiban tidak saja diakibatkan oleh minimnya ruang-ruang serta kebebasan untuk melaksanakan kewaijiban secara total dan bertanggung jawab tetapi juga oleh lemahnya kapasitas dalam melaksanakan suatu kewajiban.
Hedonisme yang kini melanda Kebudayaan Sunda telah mampu menggeser parameter dalam melaksanakan suatu kewajiban. Untuk melaksanakan suatu kewajiban tidak lagi didasarkan atas tanggung jawab yang dimilikinya, tetapi lebih didasarkan atas seberapa besar materi yang akan diperolehnya apabila suatu kewajiban dilaksanakan. Bila ukuran kewajiban saja sudah bergeser pada hal-hal yang bersifat materi, janganlah berharap bahwa di dalamnya masih ada apa yang disebut mustika idealisme. Para hedonis dengan kekuatan materi yang dimilikinya, sengaja atau tidak sengaja, semakin memupuskan idealisme dalam kebudayaan Sunda. Akibatnya, jadilah betapa sulitnya komunitas Sunda menemukan sosok-sosok yang bekerja dengan penuh idealisme dalam memajukan kebudayaan Sunda.
Berpijak pada kondisi lemahnya daya hidup dan mutu hidup kebudayaan Sunda, timbul pertanyaan besar, apa yang salah dengan kebudayaan Sunda? Untuk menjawab ini banyak argumen bisa dikedepankan. Tapi dua di antaranya yang tampaknya bisa diangkat ke permukaan sebagai faktor berpengaruh paling besar adalah karena ketidakjelasan strategi dalam mengembangkan kebudayaan Sunda serta lemahnya tradisi, baca, tulis , dan lisan (baca, berbeda pendapat) di kalangan komunitas Sunda.
Ketidakjelasan strategi kebudayaan yang benar dan tahan uji dalam mengembangkan kebudayaan Sunda tampak dari tidak adanya "pegangan bersama" yang lahir dari suatu proses yang mengedepankan prinsip-prinsip keadilan tentang upaya melestarikan dan mengembangkan secara lebih berkualitas kebudayaan Sunda. Kebudayaan Sunda tampaknya dibiarkan berkembang secara liar, tanpa ada upaya sungguh-sungguh untuk memandunya agar selalu berada di "jalan yang lurus", khususnya manakala harus berhadapan dengan kebudayaan-kebudayaan asing yang galibnya terorganisasi dengan rapi serta memiliki kemasan menarik. Berbagai unsur kebudayaan Sunda yang sebenarnya sangat potensial untuk dikembangkan, bahkan untuk dijadikan model kebudayaan nasional dan kebudayaan dunia tampak tidak mendapat sentuhan yang memadai. Ambillah contoh, berbagai makanan tradisional yang dimiliki urang Sunda, mulai dari bajigur, bandrek, surabi, colenak, wajit, borondong, kolontong, ranginang, opak, hingga ubi cilembu, apakah ada strategi besar dari pemerintah untuk mengemasnya dengan lebih bertanggung jawab agar bisa diterima komunitas yang lebih luas. Kalau Kolonel Sanders mampu mengemas ayam menjadi demikian mendunia, mengapa urang Sunda tidak mampu melahirkan Mang Ujang, Kang Duyeh, ataupun Bi Eha dengan kemasan-kemasan makanan tradisional Sunda yang juga mendunia?
Lemahnya budaya baca, tulis, dan lisan ditengarai juga menjadi penyebab lemahnya daya hidup dan mutu hidup kebudayaan Sunda. Lemahnya budaya baca telah menyebabkan lemahnya budaya tulis. Lemahnya budaya tulis pada komunitas Sunda secara tidak langsung merupakan representasi pula dari lemahnya budaya tulis dari bangsa Indonesia. Fakta paling menonjol dari semua ini adalah minimnya karya-karya tulis tentang kebudayaan Sunda ataupun karya tulis yang ditulis oleh urang Sunda. Dalam kaitan ini, upaya Yayasan Rancage untuk memberikan penghargaan dalam tradisi tulis perlu mendapat dukungan dari berbagai elemen urang Sunda. Sayangnya, hingga saat ini pertumbuhan tradisi tulis pada urang Sunda masih tetap terbilang rendah.
Kebudayaan Sunda yang ideal pun kemudian sering dikaitkan sebagai kebudayaan raja-raja Sunda atau tokoh yang diidentikkan dengan raja Sunda. Dalam kaitan ini, jadilah sosok Prabu Siliwangi dijadikan sebagai tokoh panutan dan kebanggaan urang Sunda karena dimitoskan sebagai raja Sunda yang berhasil, sekaligus mampu memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya.
Dalam perkembangannya yang paling kontemporer, kebudayaan Sunda kini banyak mendapat gugatan kembali. Pertanyaan seputar eksistensi kebudayaan Sunda pun sering kali mencuat ke permukaan. Apakah kebudayaan Sunda masih ada? Kalau masih ada, siapakah pemiliknya? Pertanyaan seputar eksistensi kebudayaan Sunda yang tampaknya provokatif tersebut, bila dikaji dengan tenang sebenarnya merupakan pertanyaan yang wajar-wajar saja. Mengapa demikian? Jawabannya sederhana, karena kebudayaan Sunda dalam kenyataannya saat ini memang seperti kehilangan ruhnya atau setidaknya tidak jelas arah dan tujuannya. Mau dibawa ke mana kebudayaan Sunda tersebut?
Setidaknya ada empat daya hidup yang perlu dicermati dalam kebudayaan Sunda, yaitu, kemampuan beradaptasi, kemampuan mobilitas, kemampuan tumbuh dan berkembang, serta kemampuan regenerasi. Kemampuan beradaptasi kebudayaan Sunda, terutama dalam merespons berbagai tantangan yang muncul, baik dari dalam maupun dari luar, dapat dikatakan memperlihatkan tampilan yang kurang begitu menggembirakan. Bahkan, kebudayaan Sunda seperti tidak memiliki daya hidup manakala berhadapan dengan tantangan dari luar.
Akibatnya, tidaklah mengherankan bila semakin lama semakin banyak unsur kebudayaan Sunda yang tergilas oleh kebudayaan asing. Sebagai contoh paling jelas, bahasa Sunda yang merupakan bahasa komunitas urang Sunda tampak secara eksplisit semakin jarang digunakan oleh pemiliknya sendiri, khususnya para generasi muda Sunda. Lebih memprihatinkan lagi, menggunakan bahasa Sunda dalam komunikasi sehari-hari terkadang diidentikkan dengan "keterbelakangan", untuk tidak mengatakan primitif. Akibatnya, timbul rasa gengsi pada urang Sunda untuk menggunakan bahasa Sunda dalam pergaulannya sehari-hari. Bahkan, rasa "gengsi" ini terkadang ditemukan pula pada mereka yang sebenarnya merupakan pakar di bidang bahasa Sunda, termasuk untuk sekadar mengakui bahwa dirinya adalah pakar atau berlatar belakang keahlian di bidang bahasa Sunda.
Apabila kemampuan beradaptasi kebudayaan Sunda memperlihatkan tampilan yang kurang begitu menggembirakan, hal itu sejalan pula dengan kemampuan mobilitasnya. Kemampuan kebudayaan Sunda untuk melakukan mobilitas, baik vertikal maupun horizontal, dapat dikatakan sangat lemah. Oleh karenanya, jangankan di luar komunitas Sunda, di dalam komunitas Sunda sendiri, kebudayaan Sunda seringkali menjadi asing. Meskipun ada unsur kebudayaan Sunda yang memperlihatkan kemampuan untuk bermobilitas, baik secara horizontal maupun vertikal, secara umum kemampuan kebudayaan Sunda untuk bermobilitas dapat dikatakan masih rendah sehingga kebudayaan Sunda tidak saja tampak jalan di tempat tetapi juga berjalan mundur.
Berkaitan erat dengan dua kemampuan terdahulu, kemampuan tumbuh dan berkembang kebudayaan Sunda juga dapat dikatakan memperlihatkan tampilan yang tidak kalah memprihatinkan. Jangankan berbicara paradigma-paradigma baru, iktikad untuk melestarikan apa yang telah dimiliki saja dapat dikatakan sangat lemah. Dalam hal folklor misalnya, menjadi sebuah pertanyaan besar, komunitas Sunda yang sebenarnya kaya dengan folklor, seberapa jauh telah berupaya untuk tetap melestarikan folklor tersebut agar tetap "membumi" dengan masyarakat Sunda.
Kalaulah upaya untuk "membumikan" harta pusaka saja tidak ada bisa dipastikan paradigma baru untuk membuat folklor tersebut agar sanggup berkompetisi dengan kebudayaan luar pun bisa jadi hampir tidak ada atau bahkan mungkin, belum pernah terpikirkan sama sekali. Biarlah folklor tersebut menjadi kenangan masa lalu urang Sunda dan biarkanlah folklor tersebut ikut terkubur selamanya bersama para pendukungnya, begitulah barangkali ucap urang Sunda yang tidak berdaya dalam merawat dan memberdayakan warisan leluhurnya.
Berkenaan dengan kemampuan regenerasi, kebudayaan Sunda pun tampaknya kurang membuka ruang bagi terjadinya proses tersebut, untuk tidak mengatakan anti regenerasi. Budaya "kumaha akang", "teu langkung akang", "mangga tipayun", yang demikian kental melingkupi kehidupan sehari-hari urang Sunda dapat dikatakan menjadi salah satu penyebab rentannya budaya Sunda dalam proses regenerasi. Akibatnya, jadilah budaya Sunda gagap dengan regenerasi.
Generasi-generasi baru urang Sunda seperti tidak diberi ruang terbuka untuk berkompetisi dengan sehat, hanya karena kentalnya senioritas serta "terlalu majunya" pemikiran para generasi baru, yang seringkali bertentangan dengan pakem-pakem yang dimiliki generasi sebelumnya. Akibatnya, tidaklah mengherankan bila proses alih generasi dalam berbagai bidang pun berjalan dengan tersendat-sendat.
Bila pengamatan terhadap daya hidup kebudayaan Sunda melahirkan temuan-temuan yang cukup memprihatinkan, hal yang sama juga terjadi manakala tiga mustika mutu hidup kreasi Rendra digunakan untuk menjelajahi Kebudayaan Sunda, baik itu mustika tanggung jawab terhadap kewajiban, mustika idealisme maupun mustika spontanitas. Lemahnya tanggung jawab terhadap kewajiban tidak saja diakibatkan oleh minimnya ruang-ruang serta kebebasan untuk melaksanakan kewaijiban secara total dan bertanggung jawab tetapi juga oleh lemahnya kapasitas dalam melaksanakan suatu kewajiban.
Hedonisme yang kini melanda Kebudayaan Sunda telah mampu menggeser parameter dalam melaksanakan suatu kewajiban. Untuk melaksanakan suatu kewajiban tidak lagi didasarkan atas tanggung jawab yang dimilikinya, tetapi lebih didasarkan atas seberapa besar materi yang akan diperolehnya apabila suatu kewajiban dilaksanakan. Bila ukuran kewajiban saja sudah bergeser pada hal-hal yang bersifat materi, janganlah berharap bahwa di dalamnya masih ada apa yang disebut mustika idealisme. Para hedonis dengan kekuatan materi yang dimilikinya, sengaja atau tidak sengaja, semakin memupuskan idealisme dalam kebudayaan Sunda. Akibatnya, jadilah betapa sulitnya komunitas Sunda menemukan sosok-sosok yang bekerja dengan penuh idealisme dalam memajukan kebudayaan Sunda.
Berpijak pada kondisi lemahnya daya hidup dan mutu hidup kebudayaan Sunda, timbul pertanyaan besar, apa yang salah dengan kebudayaan Sunda? Untuk menjawab ini banyak argumen bisa dikedepankan. Tapi dua di antaranya yang tampaknya bisa diangkat ke permukaan sebagai faktor berpengaruh paling besar adalah karena ketidakjelasan strategi dalam mengembangkan kebudayaan Sunda serta lemahnya tradisi, baca, tulis , dan lisan (baca, berbeda pendapat) di kalangan komunitas Sunda.
Ketidakjelasan strategi kebudayaan yang benar dan tahan uji dalam mengembangkan kebudayaan Sunda tampak dari tidak adanya "pegangan bersama" yang lahir dari suatu proses yang mengedepankan prinsip-prinsip keadilan tentang upaya melestarikan dan mengembangkan secara lebih berkualitas kebudayaan Sunda. Kebudayaan Sunda tampaknya dibiarkan berkembang secara liar, tanpa ada upaya sungguh-sungguh untuk memandunya agar selalu berada di "jalan yang lurus", khususnya manakala harus berhadapan dengan kebudayaan-kebudayaan asing yang galibnya terorganisasi dengan rapi serta memiliki kemasan menarik. Berbagai unsur kebudayaan Sunda yang sebenarnya sangat potensial untuk dikembangkan, bahkan untuk dijadikan model kebudayaan nasional dan kebudayaan dunia tampak tidak mendapat sentuhan yang memadai. Ambillah contoh, berbagai makanan tradisional yang dimiliki urang Sunda, mulai dari bajigur, bandrek, surabi, colenak, wajit, borondong, kolontong, ranginang, opak, hingga ubi cilembu, apakah ada strategi besar dari pemerintah untuk mengemasnya dengan lebih bertanggung jawab agar bisa diterima komunitas yang lebih luas. Kalau Kolonel Sanders mampu mengemas ayam menjadi demikian mendunia, mengapa urang Sunda tidak mampu melahirkan Mang Ujang, Kang Duyeh, ataupun Bi Eha dengan kemasan-kemasan makanan tradisional Sunda yang juga mendunia?
Lemahnya budaya baca, tulis, dan lisan ditengarai juga menjadi penyebab lemahnya daya hidup dan mutu hidup kebudayaan Sunda. Lemahnya budaya baca telah menyebabkan lemahnya budaya tulis. Lemahnya budaya tulis pada komunitas Sunda secara tidak langsung merupakan representasi pula dari lemahnya budaya tulis dari bangsa Indonesia. Fakta paling menonjol dari semua ini adalah minimnya karya-karya tulis tentang kebudayaan Sunda ataupun karya tulis yang ditulis oleh urang Sunda. Dalam kaitan ini, upaya Yayasan Rancage untuk memberikan penghargaan dalam tradisi tulis perlu mendapat dukungan dari berbagai elemen urang Sunda. Sayangnya, hingga saat ini pertumbuhan tradisi tulis pada urang Sunda masih tetap terbilang rendah.
Istilah Sunda
kemungkinan berasal dari bahasa Sansekerta yakni sund atau suddha yang berarti
bersinar, terang, atau putih. Dalam bahasa Jawa kuno (Kawi) dan bahasa Bali dikenal juga istilah Sunda dalam pengertian yang
sama yakni bersih, suci, murni, tak bercela/bernoda, air, tumpukan, pangkat,
dan waspada.
Menurut R.W. van Bemmelen seperti dikutip Edi S. Ekadjati, istilah Sunda adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menamai dataran bagian barat laut wilayah India Timur, sedangkan dataran bagian tenggara dinamai Sahul. Dataran Sunda dikelilingi oleh sistem Gunung Sunda yang melingkar (Circum-Sunda Mountain System) yang panjangnya sekira 7.000 km. Dataran Sunda itu terdiri atas dua bagian utama, yaitu bagian Utara.yang meliputi Kepulauan Filipina dan pulau-pulau karang sepanjang Lautan Fasifik bagian Barat serta bagian Selatan hingga Lembah Brahmaputra di Assam (India).
Dengan demikian, bagian Selatan dataran Sunda itu dibentuk oleh kawasan mulai Pulau Banda di timur, terus ke arah barat melalui pulau-pulau di kepulauan Sunda Kecil (the lesser Sunda island), Jawa, Sumatra, Kepulauan Andaman, dan Nikobar sampai Arakan Yoma di Birma. Selanjutnya, dataran ini bersambung dengan kawasan Sistem Gunung Himalaya di Barat dan dataran Sahul di Timur.
Dalam buku-buku ilmu bumi dikenal pula istilah Sunda Besar dan Sunda Kecil. Sunda Besar adalah himpunan pulau yang berukuran besar, yaitu Sumatra, Jawa, Madura, dan Kalimantan, sedangkan Sunda Kecil adalah pulau-pulau yang berukuran kecil yang kini termasuk kedalam Provinsi Bali, Nusa Tenggara, dan Timor.
Dalam perkembangannya, istilah Sunda digunakan juga dalam konotasi manusia atau sekelompok manusia, yaitu dengan sebutan urang Sunda (orang Sunda). Di dalam definisi tersebut tercakup kriteria berdasarkan keturunan (hubungan darah) dan berdasarkan sosial budaya sekaligus. Menurut kriteria pertama, seseorang bisa disebut orang Sunda, jika orang tuanya, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu ataupun keduanya, orang Sunda, di mana pun ia atau mereka berada dan dibesarkan.
Menurut kriteria kedua, orang Sunda adalah orang yang dibesarkan dalam lingkungan sosial budaya Sunda dan dalam hidupnya menghayati serta mempergunakan norma-norma dan nilai-nilai budaya Sunda. Dalam hal ini tempat tinggal, kehidupan sosial budaya dan sikap orangnya yang dianggap penting. Bisa saja seseorang yang orang tuanya atau leluhurnya orang Sunda, menjadi bukan orang Sunda karena ia atau mereka tidak mengenal, menghayati, dan mempergunakan norma-norma dan nilai-nilai sosial budaya Sunda dalam hidupnya.
Dalam konteks ini, istilah Sunda, juga dikaitkan secara erat dengan pengertian kebudayaan. Bahwa ada yang dinamakan Kebudayaan Sunda, yaitu kebudayaan yang hidup, tumbuh, dan berkembang di kalangan orang Sunda yang pada umumnya berdomosili di Tanah Sunda. Dalam tata kehidupan sosial budaya Indonesia digolongkan ke dalam kebudayaan daerah. Di samping memiliki persamaan-persamaan dengan kebudayaan daerah lain di Indonesia, kebudayaan Sunda memiliki ciri-ciri khas tersendiri yang membedakannya dari kebudayaan-kebudayaan lain.
Secara umum, masyarakat Jawa Barat atau Tatar Sunda, sering dikenal dengan masyarakat yang memiliki budaya religius. Kecenderungan ini tampak sebagaimana dalam pameo "silih asih, silih asah, dan silih asuh" (saling mengasihi, saling mempertajam diri, dan saling memelihara dan melindungi). Di samping itu, Sunda juga memiliki sejumlah budaya lain yang khas seperti kesopanan (handap asor), rendah hati terhadap sesama; penghormatan kepada orang tua atau kepada orang yang lebih tua, serta menyayangi orang yang lebih kecil (hormat ka nu luhur, nyaah ka nu leutik); membantu orang lain yang membutuhkan dan yang dalam kesusahan (nulung ka nu butuh nalang ka nu susah), dsb.
Strategi budaya
"Silih asih, silih asah, dan silih asuh" (saling mengasihi, saling mempertajam diri, dan saling memelihara dan melindungi), merupakan pameo budaya yang menunjukkan karakter yang khas dari budaya religius Sunda sebagai konsekuensi dari pandangan hidup keagamaannya.
Saling asih adalah wujud komunikasi dan interaksi religius-sosial yang menekankan sapaan cinta kasih Tuhan dan merespons cinta kasih Tuhan tersebut melalui cinta kasih kepada sesama manusia. Dengan ungkapan lain, saling asih merupakan kualitas interaksi yang memegang teguh nilai-nilai ketuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan. Semangat.ketuhanan dan kemanusiaan inilah yang kemudian melahirkan moralitas egaliter (persamaan) dalam masyarakat. Dalam tradisi masyarakat saling asih, manusia saling menghormati, tidak ada manusia yang dipandang superior maupun inperior sebab menentang semangat ketuhanan dan semangat kemanusiaan. Mendudukan manusia pada kedudukan superior atau inperior merupakan praktek dari syirik sosial. Ketika ada manusia yang dianggap superior (tinggi), berarti mendudukkan manusia sejajar dengan Tuhan dan jika mendudukan manusia pada kedudukan yang inperior (rendah), berarti mengangkat dirinya sejajar dengan Tuhan. Dalam masyarakat saling asih manusia
didudukkan secara sejajar (egaliter) satu sama lainnya. Prisip egaliter ini kemudian melahirkan etos musyawarah, ta'awun (kerjasama) dan sikap untuk senantiasa bertindak
adil. Etos dan moralitas inilah yang menjadikan masyarakat teratur, dinamis dan harmonis.
Tradisi (budaya) saling asih sangat berperan dalam menyegarkan kembali manusia dari keterasingan dirinya dalam masyarakat sehingga citra dirinya terangkat dan menemukan ketenangan. Ini merupakan sumber keteraturan, kedinamisan, dan keharmonisan masyarakat sebab manusia yang terasing dari masyarakatnya cenderung mengalami kegelisahan yang sering diikuti dengan kebingungan, penderitaan, dan ketegangan etis serta mendesak manusia untuk melakukan pelanggaran hak dan tanggung jawab sosial.
Selain itu, dalam masyarakat religius kepentingan kolektif maupun pribadi mendapat perhatian serius melalui saling kontrol, tegur sapa dan saling menasihati. Hal ini dikembangkan dalam budaya atau tradisi saling asuh. Budaya saling asuh inilah yang kemudian memperkuat ikatan emosional yang telah dikembangkan dalam tradisi saling asih pada masyarakat religius. Oleh karena itu, dalam masyarakat religius seperti ini jarang terjadi konflik dan kericuhan, tetapi ketika ada kelompok lain yang mencoba mengusik ketenangannya, maka mereka bangkit melawan secara serempak (simultan).
Budaya silih asuh inilah yang merupakan manisfestasi akhlak Tuhan yang maha pembimbing dan maha menjaga, kemudian dilembagakan dalam silih amar makruf nahy munkar.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa silih asuh merupakan etos pembebasan dalam masyarakat religius dari kebodohan, keterbelakangan, kegelisahan hidup dan segala bentuk kejahatan.
Meski demikian, budaya religius sesungguhnya memberikan peluang dalam penyerapan iptek sebab memiliki sejumlah potensi, etos keterbukaan, penalaran, analisis, dan kritis sebagai upaya perwujudan akhlak Tuhan Yang Maha Berilmu dan Mahakreatif sebagimana dikembangkan dalam budaya atau tradisi saling asah.
Masyarakat saling asah adalah masyarakat yang saling mengembangkan diri untuk memperkaya khazanah pengetahuan dan teknologi. Tradisi saling asah melahirkan etos dan semangat ilmiah dalam masyarakat. Etos dan semangat ilmiah dalam masyarakat religius merupakan upaya untuk menciptakan otonomi dan kedisiplinan sehingga tidak memiliki ketergantungan terhadap yang lain sebab tanpa tradisi iptek dan semangat.ilmiah suatu masyarakat akan mengalami ketergantungan sehingga mudah terekploitasi, tertindas, dan terjajah.
Saling asah adalah semangat interaksi untuk saling mengembangkan diri ke arah penguasaan dan penciptaan iptek sehingga masyarakat memiliki tingkat otonomi dan disiplin yang tinggi.
Dalam masyarakat religius yang saling asah, ilmu pengetahuan, dan teknologi mendapat bimbingan etis sehingga iptek tidak lagi angkuh, tetapi tampak anggun, bahkan memperkuat ketauhidan. Integrasi iptek dan etika ini merupakan terobosan baru dalam kedinamisan iptek dengan membuka dimensi transenden, dimensi harapan, evaluasi kritis, dan tanggung jawab.
Dengan demikian, budaya saling asih, saling asah dan saling asuh tetap akan selalu relevan dalam menghadapi tantangan modernisasi. Melalui strategi budaya saling asih, saling asah saling asuh, manusia modern akan dapat dikembalikan citra dirinya sehingga akan terbatas dari kegelisahan, kebingungan, dan penderitaan serta ketegangan psikologis dan etis.
Menurut R.W. van Bemmelen seperti dikutip Edi S. Ekadjati, istilah Sunda adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menamai dataran bagian barat laut wilayah India Timur, sedangkan dataran bagian tenggara dinamai Sahul. Dataran Sunda dikelilingi oleh sistem Gunung Sunda yang melingkar (Circum-Sunda Mountain System) yang panjangnya sekira 7.000 km. Dataran Sunda itu terdiri atas dua bagian utama, yaitu bagian Utara.yang meliputi Kepulauan Filipina dan pulau-pulau karang sepanjang Lautan Fasifik bagian Barat serta bagian Selatan hingga Lembah Brahmaputra di Assam (India).
Dengan demikian, bagian Selatan dataran Sunda itu dibentuk oleh kawasan mulai Pulau Banda di timur, terus ke arah barat melalui pulau-pulau di kepulauan Sunda Kecil (the lesser Sunda island), Jawa, Sumatra, Kepulauan Andaman, dan Nikobar sampai Arakan Yoma di Birma. Selanjutnya, dataran ini bersambung dengan kawasan Sistem Gunung Himalaya di Barat dan dataran Sahul di Timur.
Dalam buku-buku ilmu bumi dikenal pula istilah Sunda Besar dan Sunda Kecil. Sunda Besar adalah himpunan pulau yang berukuran besar, yaitu Sumatra, Jawa, Madura, dan Kalimantan, sedangkan Sunda Kecil adalah pulau-pulau yang berukuran kecil yang kini termasuk kedalam Provinsi Bali, Nusa Tenggara, dan Timor.
Dalam perkembangannya, istilah Sunda digunakan juga dalam konotasi manusia atau sekelompok manusia, yaitu dengan sebutan urang Sunda (orang Sunda). Di dalam definisi tersebut tercakup kriteria berdasarkan keturunan (hubungan darah) dan berdasarkan sosial budaya sekaligus. Menurut kriteria pertama, seseorang bisa disebut orang Sunda, jika orang tuanya, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu ataupun keduanya, orang Sunda, di mana pun ia atau mereka berada dan dibesarkan.
Menurut kriteria kedua, orang Sunda adalah orang yang dibesarkan dalam lingkungan sosial budaya Sunda dan dalam hidupnya menghayati serta mempergunakan norma-norma dan nilai-nilai budaya Sunda. Dalam hal ini tempat tinggal, kehidupan sosial budaya dan sikap orangnya yang dianggap penting. Bisa saja seseorang yang orang tuanya atau leluhurnya orang Sunda, menjadi bukan orang Sunda karena ia atau mereka tidak mengenal, menghayati, dan mempergunakan norma-norma dan nilai-nilai sosial budaya Sunda dalam hidupnya.
Dalam konteks ini, istilah Sunda, juga dikaitkan secara erat dengan pengertian kebudayaan. Bahwa ada yang dinamakan Kebudayaan Sunda, yaitu kebudayaan yang hidup, tumbuh, dan berkembang di kalangan orang Sunda yang pada umumnya berdomosili di Tanah Sunda. Dalam tata kehidupan sosial budaya Indonesia digolongkan ke dalam kebudayaan daerah. Di samping memiliki persamaan-persamaan dengan kebudayaan daerah lain di Indonesia, kebudayaan Sunda memiliki ciri-ciri khas tersendiri yang membedakannya dari kebudayaan-kebudayaan lain.
Secara umum, masyarakat Jawa Barat atau Tatar Sunda, sering dikenal dengan masyarakat yang memiliki budaya religius. Kecenderungan ini tampak sebagaimana dalam pameo "silih asih, silih asah, dan silih asuh" (saling mengasihi, saling mempertajam diri, dan saling memelihara dan melindungi). Di samping itu, Sunda juga memiliki sejumlah budaya lain yang khas seperti kesopanan (handap asor), rendah hati terhadap sesama; penghormatan kepada orang tua atau kepada orang yang lebih tua, serta menyayangi orang yang lebih kecil (hormat ka nu luhur, nyaah ka nu leutik); membantu orang lain yang membutuhkan dan yang dalam kesusahan (nulung ka nu butuh nalang ka nu susah), dsb.
Strategi budaya
"Silih asih, silih asah, dan silih asuh" (saling mengasihi, saling mempertajam diri, dan saling memelihara dan melindungi), merupakan pameo budaya yang menunjukkan karakter yang khas dari budaya religius Sunda sebagai konsekuensi dari pandangan hidup keagamaannya.
Saling asih adalah wujud komunikasi dan interaksi religius-sosial yang menekankan sapaan cinta kasih Tuhan dan merespons cinta kasih Tuhan tersebut melalui cinta kasih kepada sesama manusia. Dengan ungkapan lain, saling asih merupakan kualitas interaksi yang memegang teguh nilai-nilai ketuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan. Semangat.ketuhanan dan kemanusiaan inilah yang kemudian melahirkan moralitas egaliter (persamaan) dalam masyarakat. Dalam tradisi masyarakat saling asih, manusia saling menghormati, tidak ada manusia yang dipandang superior maupun inperior sebab menentang semangat ketuhanan dan semangat kemanusiaan. Mendudukan manusia pada kedudukan superior atau inperior merupakan praktek dari syirik sosial. Ketika ada manusia yang dianggap superior (tinggi), berarti mendudukkan manusia sejajar dengan Tuhan dan jika mendudukan manusia pada kedudukan yang inperior (rendah), berarti mengangkat dirinya sejajar dengan Tuhan. Dalam masyarakat saling asih manusia
didudukkan secara sejajar (egaliter) satu sama lainnya. Prisip egaliter ini kemudian melahirkan etos musyawarah, ta'awun (kerjasama) dan sikap untuk senantiasa bertindak
adil. Etos dan moralitas inilah yang menjadikan masyarakat teratur, dinamis dan harmonis.
Tradisi (budaya) saling asih sangat berperan dalam menyegarkan kembali manusia dari keterasingan dirinya dalam masyarakat sehingga citra dirinya terangkat dan menemukan ketenangan. Ini merupakan sumber keteraturan, kedinamisan, dan keharmonisan masyarakat sebab manusia yang terasing dari masyarakatnya cenderung mengalami kegelisahan yang sering diikuti dengan kebingungan, penderitaan, dan ketegangan etis serta mendesak manusia untuk melakukan pelanggaran hak dan tanggung jawab sosial.
Selain itu, dalam masyarakat religius kepentingan kolektif maupun pribadi mendapat perhatian serius melalui saling kontrol, tegur sapa dan saling menasihati. Hal ini dikembangkan dalam budaya atau tradisi saling asuh. Budaya saling asuh inilah yang kemudian memperkuat ikatan emosional yang telah dikembangkan dalam tradisi saling asih pada masyarakat religius. Oleh karena itu, dalam masyarakat religius seperti ini jarang terjadi konflik dan kericuhan, tetapi ketika ada kelompok lain yang mencoba mengusik ketenangannya, maka mereka bangkit melawan secara serempak (simultan).
Budaya silih asuh inilah yang merupakan manisfestasi akhlak Tuhan yang maha pembimbing dan maha menjaga, kemudian dilembagakan dalam silih amar makruf nahy munkar.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa silih asuh merupakan etos pembebasan dalam masyarakat religius dari kebodohan, keterbelakangan, kegelisahan hidup dan segala bentuk kejahatan.
Meski demikian, budaya religius sesungguhnya memberikan peluang dalam penyerapan iptek sebab memiliki sejumlah potensi, etos keterbukaan, penalaran, analisis, dan kritis sebagai upaya perwujudan akhlak Tuhan Yang Maha Berilmu dan Mahakreatif sebagimana dikembangkan dalam budaya atau tradisi saling asah.
Masyarakat saling asah adalah masyarakat yang saling mengembangkan diri untuk memperkaya khazanah pengetahuan dan teknologi. Tradisi saling asah melahirkan etos dan semangat ilmiah dalam masyarakat. Etos dan semangat ilmiah dalam masyarakat religius merupakan upaya untuk menciptakan otonomi dan kedisiplinan sehingga tidak memiliki ketergantungan terhadap yang lain sebab tanpa tradisi iptek dan semangat.ilmiah suatu masyarakat akan mengalami ketergantungan sehingga mudah terekploitasi, tertindas, dan terjajah.
Saling asah adalah semangat interaksi untuk saling mengembangkan diri ke arah penguasaan dan penciptaan iptek sehingga masyarakat memiliki tingkat otonomi dan disiplin yang tinggi.
Dalam masyarakat religius yang saling asah, ilmu pengetahuan, dan teknologi mendapat bimbingan etis sehingga iptek tidak lagi angkuh, tetapi tampak anggun, bahkan memperkuat ketauhidan. Integrasi iptek dan etika ini merupakan terobosan baru dalam kedinamisan iptek dengan membuka dimensi transenden, dimensi harapan, evaluasi kritis, dan tanggung jawab.
Dengan demikian, budaya saling asih, saling asah dan saling asuh tetap akan selalu relevan dalam menghadapi tantangan modernisasi. Melalui strategi budaya saling asih, saling asah saling asuh, manusia modern akan dapat dikembalikan citra dirinya sehingga akan terbatas dari kegelisahan, kebingungan, dan penderitaan serta ketegangan psikologis dan etis.
Budaya Sunda,
Antara Mitos dan Realitas
Oleh Drs. REIZA D. DIENAPUTRA, M.Hum.
W.S. Rendra dalam Kongres Kebudayaan IV di Jakarta, 29 Oktober - 3 November 1991, mengemukakan bahwa setidaknya ada tujuh daya hidup yang harus dimiliki oleh sebuah kebudayaan. Pertama, kemampuan bernapas. Kedua, kemampuan mencerna. Ketiga, kemampuan berkoordinasi dan berorganisasi. Keempat, kemampuan beradaptasi. Kelima, kemampuan mobilitas. Keenam, kemampuan tumbuh dan berkembang. Ketujuh, kemampuan regenerasi.
Kemampuan bernapas dalam kebudayaan dimaknai sebagai kemampuan untuk mengolah hawa menjadi prana, menjaga kebersihan udara, mengharmonikan kegiatan kehidupan dengan irama nafas, serta menghilangkan hal-hal yang menimbulkan ketegangan pada pikiran yang berarti menimbulkan kesesakan pada nafas kehidupan. Kemampuan mencerna dimaknai sebagai kemampuan untuk mencernakan berbagai pengalaman dalam kehidupan. Kemampuan berkoordinasi dan berorganisasi dimaknai sebagai kemampuan berinteraksi secara sosial.
Kemampuan beradaptasi dimaknai sebagai kemampuan kesadaran untuk secara kreatif mengatasi tantangan keadaan, tantangan zaman, dan tantangan berbagai ragam pergaulan. Kemampuan mobilitas dimaknai sebagai kemampuan untuk dengan kreatif menciptakan mobilitas sosial, politik, dan ekonomi, baik yang bersifat horizontal maupun vertikal.
Kemampuan tumbuh dan berkembang diartikan sebagai kemampuan kesadaran untuk selalu maju, selalu bertambah luas, dan dalam wawasannya selalu menawarkan paradigma-paradigma yang segar dan baru. Kemampuan regenerasi dimaknai sebagai kemampuan untuk mendorong munculnya generasi baru yang kreatif dan produktif.
Di samping daya hidup, unsur lain lagi yang juga penting dalam suatu kebudayaan adalah mutu hidup. Mutu hidup bukanlah merupakan kesempurnaan tetapi lebih dimaknai sebagai kewajaran. Adapun kewajaran dalam hidup manusia merupakan harmoni tiga mustika, yakni, tanggung jawab kepada kewajiban, idealisme, dan spontanitas. Tanggung jawab kepada kewajiban dimaknai sebagai sebuah kesadaran untuk selalu melaksanakan kewajiban-kewajiban secara penuh sesuai dengan tanggung jawab sosialnya.
Idealisme dimaknai sebagai rumusan sikap hidup seseorang di dalam menempuh padang dan hutan belantara kehidupan. Idealisme sekaligus merupakan sumber kepuasan batin seseorang. Spontanitas dimaknai sebagai ungkapan naluri dan intuisi manusia. Tanpa spontanitas akan menyebabkan hidup menjadi kering dan hambar.
Daya hidup
Kebudayaan Sunda termasuk salah satu kebudayaan suku bangsa di Indonesia yang berusia tua. Bahkan, dibandingkan dengan kebudayaan Jawa sekalipun, kebudayaan Sunda sebenarnya termasuk kebudayaan yang berusia relatif lebih tua, setidaknya dalam hal pengenalan terhadap budaya tulis. "Kegemilangan" kebudayaan Sunda di masa lalu, khususnya semasa Kerajaan Tarumanegara dan Kerajaan Sunda, dalam perkembangannya kemudian seringkali dijadikan acuan dalam memetakan apa yang dinamakan kebudayaan Sunda.
Kebudayaan Sunda yang ideal pun kemudian sering dikaitkan sebagai kebudayaan raja-raja Sunda atau tokoh yang diidentikkan dengan raja Sunda. Dalam kaitan ini, jadilah sosok Prabu Siliwangi dijadikan sebagai tokoh panutan dan kebanggaan urang Sunda karena dimitoskan sebagai raja Sunda yang berhasil, sekaligus mampu memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya.
Dalam perkembangannya yang paling kontemporer, kebudayaan Sunda kini banyak mendapat gugatan kembali. Pertanyaan seputar eksistensi kebudayaan Sunda pun sering kali mencuat ke permukaan. Apakah kebudayaan Sunda masih ada? Kalau masih ada, siapakah pemiliknya? Pertanyaan seputar eksistensi kebudayaan Sunda yang tampaknya provokatif tersebut, bila dikaji dengan tenang sebenarnya merupakan pertanyaan yang wajar-wajar saja. Mengapa demikian? Jawabannya sederhana, karena kebudayaan Sunda dalam kenyataannya saat ini memang seperti kehilangan ruhnya atau setidaknya tidak jelas arah dan tujuannya. Mau dibawa ke mana kebudayaan Sunda tersebut?
Kalaulah kemudian tujuh daya hidup kreasi Rendra digunakan untuk mengelaborasi kebudayaan Sunda kontemporer, setidaknya ada empat daya hidup yang perlu dicermati dalam kebudayaan Sunda, yaitu, kemampuan beradaptasi, kemampuan mobilitas, kemampuan tumbuh dan berkembang, serta kemampuan regenerasi. Kemampuan beradaptasi kebudayaan Sunda, terutama dalam merespons berbagai tantangan yang muncul, baik dari dalam maupun dari luar, dapat dikatakan memperlihatkan tampilan yang kurang begitu menggembirakan. Bahkan, kebudayaan Sunda seperti tidak memiliki daya hidup manakala berhadapan dengan tantangan dari luar.
Akibatnya, tidaklah mengherankan bila semakin lama semakin banyak unsur kebudayaan Sunda yang tergilas oleh kebudayaan asing. Sebagai contoh paling jelas, bahasa Sunda yang merupakan bahasa komunitas urang Sunda tampak secara eksplisit semakin jarang digunakan oleh pemiliknya sendiri, khususnya para generasi muda Sunda. Lebih memprihatinkan lagi, menggunakan bahasa Sunda dalam komunikasi sehari-hari terkadang diidentikkan dengan "keterbelakangan", untuk tidak mengatakan primitif. Akibatnya, timbul rasa gengsi pada urang Sunda untuk menggunakan bahasa Sunda dalam pergaulannya sehari-hari. Bahkan, rasa "gengsi" ini terkadang ditemukan pula pada mereka yang sebenarnya merupakan pakar di bidang bahasa Sunda, termasuk untuk sekadar mengakui bahwa dirinya adalah pakar atau berlatar belakang keahlian di bidang bahasa Sunda.
Apabila kemampuan beradaptasi kebudayaan Sunda memperlihatkan tampilan yang kurang begitu menggembirakan, hal itu sejalan pula dengan kemampuan mobilitasnya. Kemampuan kebudayaan Sunda untuk melakukan mobilitas, baik vertikal maupun horizontal, dapat dikatakan sangat lemah. Oleh karenanya, jangankan di luar komunitas Sunda, di dalam komunitas Sunda sendiri, kebudayaan Sunda seringkali menjadi asing. Meskipun ada unsur kebudayaan Sunda yang memperlihatkan kemampuan untuk bermobilitas, baik secara horizontal maupun vertikal, secara umum kemampuan kebudayaan Sunda untuk bermobilitas dapat dikatakan masih rendah sehingga kebudayaan Sunda tidak saja tampak jalan di tempat tetapi juga berjalan mundur.
Berkaitan erat dengan dua kemampuan terdahulu, kemampuan tumbuh dan berkembang kebudayaan Sunda juga dapat dikatakan memperlihatkan tampilan yang tidak kalah memprihatinkan. Jangankan berbicara paradigma-paradigma baru, iktikad untuk melestarikan apa yang telah dimiliki saja dapat dikatakan sangat lemah. Dalam hal folklor misalnya, menjadi sebuah pertanyaan besar, komunitas Sunda yang sebenarnya kaya dengan folklor, seberapa jauh telah berupaya untuk tetap melestarikan folklor tersebut agar tetap "membumi" dengan masyarakat Sunda.
Kalaulah upaya untuk "membumikan" harta pusaka saja tidak ada bisa dipastikan paradigma baru untuk membuat folklor tersebut agar sanggup berkompetisi dengan kebudayaan luar pun bisa jadi hampir tidak ada atau bahkan mungkin, belum pernah terpikirkan sama sekali. Biarlah folklor tersebut menjadi kenangan masa lalu urang Sunda dan biarkanlah folklor tersebut ikut terkubur selamanya bersama para pendukungnya, begitulah barangkali ucap urang Sunda yang tidak berdaya dalam merawat dan memberdayakan warisan leluhurnya.
Berkenaan dengan kemampuan regenerasi, kebudayaan Sunda pun tampaknya kurang membuka ruang bagi terjadinya proses tersebut, untuk tidak mengatakan anti regenerasi. Budaya "kumaha akang", "teu langkung akang", "mangga tipayun", yang demikian kental melingkupi kehidupan sehari-hari urang Sunda dapat dikatakan menjadi salah satu penyebab rentannya budaya Sunda dalam proses regenerasi. Akibatnya, jadilah budaya Sunda gagap dengan regenerasi.
Generasi-generasi baru urang Sunda seperti tidak diberi ruang terbuka untuk berkompetisi dengan sehat, hanya karena kentalnya senioritas serta "terlalu majunya" pemikiran para generasi baru, yang seringkali bertentangan dengan pakem-pakem yang dimiliki generasi sebelumnya. Akibatnya, tidaklah mengherankan bila proses alih generasi dalam berbagai bidang pun berjalan dengan tersendat-sendat.
Bila pengamatan terhadap daya hidup kebudayaan Sunda melahirkan temuan-temuan yang cukup memprihatinkan, hal yang sama juga terjadi manakala tiga mustika mutu hidup kreasi Rendra digunakan untuk menjelajahi Kebudayaan Sunda, baik itu mustika tanggung jawab terhadap kewajiban, mustika idealisme maupun mustika spontanitas. Lemahnya tanggung jawab terhadap kewajiban tidak saja diakibatkan oleh minimnya ruang-ruang serta kebebasan untuk melaksanakan kewaijiban secara total dan bertanggung jawab tetapi juga oleh lemahnya kapasitas dalam melaksanakan suatu kewajiban.
Hedonisme yang kini melanda Kebudayaan Sunda telah mampu menggeser parameter dalam melaksanakan suatu kewajiban. Untuk melaksanakan suatu kewajiban tidak lagi didasarkan atas tanggung jawab yang dimilikinya, tetapi lebih didasarkan atas seberapa besar materi yang akan diperolehnya apabila suatu kewajiban dilaksanakan. Bila ukuran kewajiban saja sudah bergeser pada hal-hal yang bersifat materi, janganlah berharap bahwa di dalamnya masih ada apa yang disebut mustika idealisme. Para hedonis dengan kekuatan materi yang dimilikinya, sengaja atau tidak sengaja, semakin memupuskan idealisme dalam kebudayaan Sunda. Akibatnya, jadilah betapa sulitnya komunitas Sunda menemukan sosok-sosok yang bekerja dengan penuh idealisme dalam memajukan kebudayaan Sunda.
Daya mati
Berpijak pada kondisi lemahnya daya hidup dan mutu hidup kebudayaan Sunda, timbul pertanyaan besar, apa yang salah dengan kebudayaan Sunda? Untuk menjawab ini banyak argumen bisa dikedepankan. Tapi dua di antaranya yang tampaknya bisa diangkat ke permukaan sebagai faktor berpengaruh paling besar adalah karena ketidakjelasan strategi dalam mengembangkan kebudayaan Sunda serta lemahnya tradisi, baca, tulis , dan lisan (baca, berbeda pendapat) di kalangan komunitas Sunda.
Ketidakjelasan strategi kebudayaan yang benar dan tahan uji dalam mengembangkan kebudayaan Sunda tampak dari tidak adanya "pegangan bersama" yang lahir dari suatu proses yang mengedepankan prinsip-prinsip keadilan tentang upaya melestarikan dan mengembangkan secara lebih berkualitas kebudayaan Sunda. Kebudayaan Sunda tampaknya dibiarkan berkembang secara liar, tanpa ada upaya sungguh-sungguh untuk memandunya agar selalu berada di "jalan yang lurus", khususnya manakala harus berhadapan dengan kebudayaan-kebudayaan asing yang galibnya terorganisasi dengan rapi serta memiliki kemasan menarik. Berbagai unsur kebudayaan Sunda yang sebenarnya sangat potensial untuk dikembangkan, bahkan untuk dijadikan model kebudayaan nasional dan kebudayaan dunia tampak tidak mendapat sentuhan yang memadai. Ambillah contoh, berbagai makanan tradisional yang dimiliki urang Sunda, mulai dari bajigur, bandrek, surabi, colenak, wajit, borondong, kolontong, ranginang, opak, hingga ubi cilembu, apakah ada strategi besar dari pemerintah untuk mengemasnya dengan lebih bertanggung jawab agar bisa diterima komunitas yang lebih luas. Kalau Kolonel Sanders mampu mengemas ayam menjadi demikian mendunia, mengapa urang Sunda tidak mampu melahirkan Mang Ujang, Kang Duyeh, ataupun Bi Eha dengan kemasan-kemasan makanan tradisional Sunda yang juga mendunia?
Lemahnya budaya baca, tulis, dan lisan ditengarai juga menjadi penyebab lemahnya daya hidup dan mutu hidup kebudayaan Sunda. Lemahnya budaya baca telah menyebabkan lemahnya budaya tulis. Lemahnya budaya tulis pada komunitas Sunda secara tidak langsung merupakan representasi pula dari lemahnya budaya tulis dari bangsa Indonesia. Fakta paling menonjol dari semua ini adalah minimnya karya-karya tulis tentang kebudayaan Sunda ataupun karya tulis yang ditulis oleh urang Sunda. Dalam kaitan ini, upaya Yayasan Rancage untuk memberikan penghargaan dalam tradisi tulis perlu mendapat dukungan dari berbagai elemen urang Sunda. Sayangnya, hingga saat ini pertumbuhan tradisi tulis pada urang Sunda masih tetap terbilang rendah.
Menurut A. Chaedar Alwasilah (2003), setidaknya ada sebelas ayat sesat yang telah menyebabkan lemahnya budaya tulis. Pertama, anggapan bahwa literasi adalah kemampuan membaca. Kedua, anggapan bahwa mahasiswa tidak perlu diajari cara menulis. Ketiga, anggapan bahwa penguasaan teori menulis akan membuat siswa mampu menulis. Keempat, anggapan bahwa tidak mungkin mengajarkan menulis pada kelas-kelas besar. Kelima, anggapan bahwa menulis dapat diajarkan manakala siswa telah menguasai tata bahasa. Keenam, anggapan bahwa karangan yang sulit dipahami memperlihatkan kehebatan penulisnya. Ketujuh, anggapan bahwa menulis hanya dapat diajarkan manakala siswa sudah dewasa. Kedelapan, anggapan bahwa menulis karangan naratif dan ekspositoris harus lebih dahulu diajarkan daripada genre-genre lainnya. Kesembilan, anggapan bahwa pengajaran bahasa adalah tanggung jawab guru bahasa. Kesepuluh, anggapan bahwa menulis mesti diajarkan lewat perkuliahan bahasa. Kesebelas, anggapan bahwa bacaan atau pengajaran sastra hanya relevan bagi (maha) siswa fakultas sastra.
Budaya lisan dalam kebudayaan Sunda sebenarnya merupakan budaya yang telah lama akrab dengan komunitas Sunda, bahkan usianya jauh lebih tua dibandingkan dengan budaya baca dan tulisan. Namun, budaya lisan dalam pengertian kapasitas untuk mengemukakan pendapat serta berjiwa besar dalam menghadapi pendapat yang berbeda masih merupakan barang yang masih amat sangat langka dalam Kebudayaan Sunda. Tradisi lisan Sunda tampaknya baru mampu menghargai komunikasi model monolog dan bukannya dialog. Akibatnya, kemampuan untuk menyampaikan pendapat dan menerima pendapat yang berbeda dalam Kebudayaan Sunda merupakan barang yang teramat mewah. Padahal, kapasitas untuk mengemukakan pendapat dan menerima pendapat yang berbeda ini menjadi salah satu dasar bagi munculnya daya hidup dan mutu hidup kebudayaan yang berkualitas. Kapasitas mengemukakan pendapat pada dasarnya merupakan representasi dari kemampuan bernafas dan mencerna, sementara kapasitas menerima dengan jiwa besar pendapat yang berbeda lebih merupakan representasi dari kemampuan berkoordinasi dan berorganisasi, kemampuan beradaptasi, kemampuan mobilitas, kemampuan tumbuh dan berkembang, serta kemampuan regenerasi.***
Oleh Drs. REIZA D. DIENAPUTRA, M.Hum.
W.S. Rendra dalam Kongres Kebudayaan IV di Jakarta, 29 Oktober - 3 November 1991, mengemukakan bahwa setidaknya ada tujuh daya hidup yang harus dimiliki oleh sebuah kebudayaan. Pertama, kemampuan bernapas. Kedua, kemampuan mencerna. Ketiga, kemampuan berkoordinasi dan berorganisasi. Keempat, kemampuan beradaptasi. Kelima, kemampuan mobilitas. Keenam, kemampuan tumbuh dan berkembang. Ketujuh, kemampuan regenerasi.
Kemampuan bernapas dalam kebudayaan dimaknai sebagai kemampuan untuk mengolah hawa menjadi prana, menjaga kebersihan udara, mengharmonikan kegiatan kehidupan dengan irama nafas, serta menghilangkan hal-hal yang menimbulkan ketegangan pada pikiran yang berarti menimbulkan kesesakan pada nafas kehidupan. Kemampuan mencerna dimaknai sebagai kemampuan untuk mencernakan berbagai pengalaman dalam kehidupan. Kemampuan berkoordinasi dan berorganisasi dimaknai sebagai kemampuan berinteraksi secara sosial.
Kemampuan beradaptasi dimaknai sebagai kemampuan kesadaran untuk secara kreatif mengatasi tantangan keadaan, tantangan zaman, dan tantangan berbagai ragam pergaulan. Kemampuan mobilitas dimaknai sebagai kemampuan untuk dengan kreatif menciptakan mobilitas sosial, politik, dan ekonomi, baik yang bersifat horizontal maupun vertikal.
Kemampuan tumbuh dan berkembang diartikan sebagai kemampuan kesadaran untuk selalu maju, selalu bertambah luas, dan dalam wawasannya selalu menawarkan paradigma-paradigma yang segar dan baru. Kemampuan regenerasi dimaknai sebagai kemampuan untuk mendorong munculnya generasi baru yang kreatif dan produktif.
Di samping daya hidup, unsur lain lagi yang juga penting dalam suatu kebudayaan adalah mutu hidup. Mutu hidup bukanlah merupakan kesempurnaan tetapi lebih dimaknai sebagai kewajaran. Adapun kewajaran dalam hidup manusia merupakan harmoni tiga mustika, yakni, tanggung jawab kepada kewajiban, idealisme, dan spontanitas. Tanggung jawab kepada kewajiban dimaknai sebagai sebuah kesadaran untuk selalu melaksanakan kewajiban-kewajiban secara penuh sesuai dengan tanggung jawab sosialnya.
Idealisme dimaknai sebagai rumusan sikap hidup seseorang di dalam menempuh padang dan hutan belantara kehidupan. Idealisme sekaligus merupakan sumber kepuasan batin seseorang. Spontanitas dimaknai sebagai ungkapan naluri dan intuisi manusia. Tanpa spontanitas akan menyebabkan hidup menjadi kering dan hambar.
Daya hidup
Kebudayaan Sunda termasuk salah satu kebudayaan suku bangsa di Indonesia yang berusia tua. Bahkan, dibandingkan dengan kebudayaan Jawa sekalipun, kebudayaan Sunda sebenarnya termasuk kebudayaan yang berusia relatif lebih tua, setidaknya dalam hal pengenalan terhadap budaya tulis. "Kegemilangan" kebudayaan Sunda di masa lalu, khususnya semasa Kerajaan Tarumanegara dan Kerajaan Sunda, dalam perkembangannya kemudian seringkali dijadikan acuan dalam memetakan apa yang dinamakan kebudayaan Sunda.
Kebudayaan Sunda yang ideal pun kemudian sering dikaitkan sebagai kebudayaan raja-raja Sunda atau tokoh yang diidentikkan dengan raja Sunda. Dalam kaitan ini, jadilah sosok Prabu Siliwangi dijadikan sebagai tokoh panutan dan kebanggaan urang Sunda karena dimitoskan sebagai raja Sunda yang berhasil, sekaligus mampu memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya.
Dalam perkembangannya yang paling kontemporer, kebudayaan Sunda kini banyak mendapat gugatan kembali. Pertanyaan seputar eksistensi kebudayaan Sunda pun sering kali mencuat ke permukaan. Apakah kebudayaan Sunda masih ada? Kalau masih ada, siapakah pemiliknya? Pertanyaan seputar eksistensi kebudayaan Sunda yang tampaknya provokatif tersebut, bila dikaji dengan tenang sebenarnya merupakan pertanyaan yang wajar-wajar saja. Mengapa demikian? Jawabannya sederhana, karena kebudayaan Sunda dalam kenyataannya saat ini memang seperti kehilangan ruhnya atau setidaknya tidak jelas arah dan tujuannya. Mau dibawa ke mana kebudayaan Sunda tersebut?
Kalaulah kemudian tujuh daya hidup kreasi Rendra digunakan untuk mengelaborasi kebudayaan Sunda kontemporer, setidaknya ada empat daya hidup yang perlu dicermati dalam kebudayaan Sunda, yaitu, kemampuan beradaptasi, kemampuan mobilitas, kemampuan tumbuh dan berkembang, serta kemampuan regenerasi. Kemampuan beradaptasi kebudayaan Sunda, terutama dalam merespons berbagai tantangan yang muncul, baik dari dalam maupun dari luar, dapat dikatakan memperlihatkan tampilan yang kurang begitu menggembirakan. Bahkan, kebudayaan Sunda seperti tidak memiliki daya hidup manakala berhadapan dengan tantangan dari luar.
Akibatnya, tidaklah mengherankan bila semakin lama semakin banyak unsur kebudayaan Sunda yang tergilas oleh kebudayaan asing. Sebagai contoh paling jelas, bahasa Sunda yang merupakan bahasa komunitas urang Sunda tampak secara eksplisit semakin jarang digunakan oleh pemiliknya sendiri, khususnya para generasi muda Sunda. Lebih memprihatinkan lagi, menggunakan bahasa Sunda dalam komunikasi sehari-hari terkadang diidentikkan dengan "keterbelakangan", untuk tidak mengatakan primitif. Akibatnya, timbul rasa gengsi pada urang Sunda untuk menggunakan bahasa Sunda dalam pergaulannya sehari-hari. Bahkan, rasa "gengsi" ini terkadang ditemukan pula pada mereka yang sebenarnya merupakan pakar di bidang bahasa Sunda, termasuk untuk sekadar mengakui bahwa dirinya adalah pakar atau berlatar belakang keahlian di bidang bahasa Sunda.
Apabila kemampuan beradaptasi kebudayaan Sunda memperlihatkan tampilan yang kurang begitu menggembirakan, hal itu sejalan pula dengan kemampuan mobilitasnya. Kemampuan kebudayaan Sunda untuk melakukan mobilitas, baik vertikal maupun horizontal, dapat dikatakan sangat lemah. Oleh karenanya, jangankan di luar komunitas Sunda, di dalam komunitas Sunda sendiri, kebudayaan Sunda seringkali menjadi asing. Meskipun ada unsur kebudayaan Sunda yang memperlihatkan kemampuan untuk bermobilitas, baik secara horizontal maupun vertikal, secara umum kemampuan kebudayaan Sunda untuk bermobilitas dapat dikatakan masih rendah sehingga kebudayaan Sunda tidak saja tampak jalan di tempat tetapi juga berjalan mundur.
Berkaitan erat dengan dua kemampuan terdahulu, kemampuan tumbuh dan berkembang kebudayaan Sunda juga dapat dikatakan memperlihatkan tampilan yang tidak kalah memprihatinkan. Jangankan berbicara paradigma-paradigma baru, iktikad untuk melestarikan apa yang telah dimiliki saja dapat dikatakan sangat lemah. Dalam hal folklor misalnya, menjadi sebuah pertanyaan besar, komunitas Sunda yang sebenarnya kaya dengan folklor, seberapa jauh telah berupaya untuk tetap melestarikan folklor tersebut agar tetap "membumi" dengan masyarakat Sunda.
Kalaulah upaya untuk "membumikan" harta pusaka saja tidak ada bisa dipastikan paradigma baru untuk membuat folklor tersebut agar sanggup berkompetisi dengan kebudayaan luar pun bisa jadi hampir tidak ada atau bahkan mungkin, belum pernah terpikirkan sama sekali. Biarlah folklor tersebut menjadi kenangan masa lalu urang Sunda dan biarkanlah folklor tersebut ikut terkubur selamanya bersama para pendukungnya, begitulah barangkali ucap urang Sunda yang tidak berdaya dalam merawat dan memberdayakan warisan leluhurnya.
Berkenaan dengan kemampuan regenerasi, kebudayaan Sunda pun tampaknya kurang membuka ruang bagi terjadinya proses tersebut, untuk tidak mengatakan anti regenerasi. Budaya "kumaha akang", "teu langkung akang", "mangga tipayun", yang demikian kental melingkupi kehidupan sehari-hari urang Sunda dapat dikatakan menjadi salah satu penyebab rentannya budaya Sunda dalam proses regenerasi. Akibatnya, jadilah budaya Sunda gagap dengan regenerasi.
Generasi-generasi baru urang Sunda seperti tidak diberi ruang terbuka untuk berkompetisi dengan sehat, hanya karena kentalnya senioritas serta "terlalu majunya" pemikiran para generasi baru, yang seringkali bertentangan dengan pakem-pakem yang dimiliki generasi sebelumnya. Akibatnya, tidaklah mengherankan bila proses alih generasi dalam berbagai bidang pun berjalan dengan tersendat-sendat.
Bila pengamatan terhadap daya hidup kebudayaan Sunda melahirkan temuan-temuan yang cukup memprihatinkan, hal yang sama juga terjadi manakala tiga mustika mutu hidup kreasi Rendra digunakan untuk menjelajahi Kebudayaan Sunda, baik itu mustika tanggung jawab terhadap kewajiban, mustika idealisme maupun mustika spontanitas. Lemahnya tanggung jawab terhadap kewajiban tidak saja diakibatkan oleh minimnya ruang-ruang serta kebebasan untuk melaksanakan kewaijiban secara total dan bertanggung jawab tetapi juga oleh lemahnya kapasitas dalam melaksanakan suatu kewajiban.
Hedonisme yang kini melanda Kebudayaan Sunda telah mampu menggeser parameter dalam melaksanakan suatu kewajiban. Untuk melaksanakan suatu kewajiban tidak lagi didasarkan atas tanggung jawab yang dimilikinya, tetapi lebih didasarkan atas seberapa besar materi yang akan diperolehnya apabila suatu kewajiban dilaksanakan. Bila ukuran kewajiban saja sudah bergeser pada hal-hal yang bersifat materi, janganlah berharap bahwa di dalamnya masih ada apa yang disebut mustika idealisme. Para hedonis dengan kekuatan materi yang dimilikinya, sengaja atau tidak sengaja, semakin memupuskan idealisme dalam kebudayaan Sunda. Akibatnya, jadilah betapa sulitnya komunitas Sunda menemukan sosok-sosok yang bekerja dengan penuh idealisme dalam memajukan kebudayaan Sunda.
Daya mati
Berpijak pada kondisi lemahnya daya hidup dan mutu hidup kebudayaan Sunda, timbul pertanyaan besar, apa yang salah dengan kebudayaan Sunda? Untuk menjawab ini banyak argumen bisa dikedepankan. Tapi dua di antaranya yang tampaknya bisa diangkat ke permukaan sebagai faktor berpengaruh paling besar adalah karena ketidakjelasan strategi dalam mengembangkan kebudayaan Sunda serta lemahnya tradisi, baca, tulis , dan lisan (baca, berbeda pendapat) di kalangan komunitas Sunda.
Ketidakjelasan strategi kebudayaan yang benar dan tahan uji dalam mengembangkan kebudayaan Sunda tampak dari tidak adanya "pegangan bersama" yang lahir dari suatu proses yang mengedepankan prinsip-prinsip keadilan tentang upaya melestarikan dan mengembangkan secara lebih berkualitas kebudayaan Sunda. Kebudayaan Sunda tampaknya dibiarkan berkembang secara liar, tanpa ada upaya sungguh-sungguh untuk memandunya agar selalu berada di "jalan yang lurus", khususnya manakala harus berhadapan dengan kebudayaan-kebudayaan asing yang galibnya terorganisasi dengan rapi serta memiliki kemasan menarik. Berbagai unsur kebudayaan Sunda yang sebenarnya sangat potensial untuk dikembangkan, bahkan untuk dijadikan model kebudayaan nasional dan kebudayaan dunia tampak tidak mendapat sentuhan yang memadai. Ambillah contoh, berbagai makanan tradisional yang dimiliki urang Sunda, mulai dari bajigur, bandrek, surabi, colenak, wajit, borondong, kolontong, ranginang, opak, hingga ubi cilembu, apakah ada strategi besar dari pemerintah untuk mengemasnya dengan lebih bertanggung jawab agar bisa diterima komunitas yang lebih luas. Kalau Kolonel Sanders mampu mengemas ayam menjadi demikian mendunia, mengapa urang Sunda tidak mampu melahirkan Mang Ujang, Kang Duyeh, ataupun Bi Eha dengan kemasan-kemasan makanan tradisional Sunda yang juga mendunia?
Lemahnya budaya baca, tulis, dan lisan ditengarai juga menjadi penyebab lemahnya daya hidup dan mutu hidup kebudayaan Sunda. Lemahnya budaya baca telah menyebabkan lemahnya budaya tulis. Lemahnya budaya tulis pada komunitas Sunda secara tidak langsung merupakan representasi pula dari lemahnya budaya tulis dari bangsa Indonesia. Fakta paling menonjol dari semua ini adalah minimnya karya-karya tulis tentang kebudayaan Sunda ataupun karya tulis yang ditulis oleh urang Sunda. Dalam kaitan ini, upaya Yayasan Rancage untuk memberikan penghargaan dalam tradisi tulis perlu mendapat dukungan dari berbagai elemen urang Sunda. Sayangnya, hingga saat ini pertumbuhan tradisi tulis pada urang Sunda masih tetap terbilang rendah.
Menurut A. Chaedar Alwasilah (2003), setidaknya ada sebelas ayat sesat yang telah menyebabkan lemahnya budaya tulis. Pertama, anggapan bahwa literasi adalah kemampuan membaca. Kedua, anggapan bahwa mahasiswa tidak perlu diajari cara menulis. Ketiga, anggapan bahwa penguasaan teori menulis akan membuat siswa mampu menulis. Keempat, anggapan bahwa tidak mungkin mengajarkan menulis pada kelas-kelas besar. Kelima, anggapan bahwa menulis dapat diajarkan manakala siswa telah menguasai tata bahasa. Keenam, anggapan bahwa karangan yang sulit dipahami memperlihatkan kehebatan penulisnya. Ketujuh, anggapan bahwa menulis hanya dapat diajarkan manakala siswa sudah dewasa. Kedelapan, anggapan bahwa menulis karangan naratif dan ekspositoris harus lebih dahulu diajarkan daripada genre-genre lainnya. Kesembilan, anggapan bahwa pengajaran bahasa adalah tanggung jawab guru bahasa. Kesepuluh, anggapan bahwa menulis mesti diajarkan lewat perkuliahan bahasa. Kesebelas, anggapan bahwa bacaan atau pengajaran sastra hanya relevan bagi (maha) siswa fakultas sastra.
Budaya lisan dalam kebudayaan Sunda sebenarnya merupakan budaya yang telah lama akrab dengan komunitas Sunda, bahkan usianya jauh lebih tua dibandingkan dengan budaya baca dan tulisan. Namun, budaya lisan dalam pengertian kapasitas untuk mengemukakan pendapat serta berjiwa besar dalam menghadapi pendapat yang berbeda masih merupakan barang yang masih amat sangat langka dalam Kebudayaan Sunda. Tradisi lisan Sunda tampaknya baru mampu menghargai komunikasi model monolog dan bukannya dialog. Akibatnya, kemampuan untuk menyampaikan pendapat dan menerima pendapat yang berbeda dalam Kebudayaan Sunda merupakan barang yang teramat mewah. Padahal, kapasitas untuk mengemukakan pendapat dan menerima pendapat yang berbeda ini menjadi salah satu dasar bagi munculnya daya hidup dan mutu hidup kebudayaan yang berkualitas. Kapasitas mengemukakan pendapat pada dasarnya merupakan representasi dari kemampuan bernafas dan mencerna, sementara kapasitas menerima dengan jiwa besar pendapat yang berbeda lebih merupakan representasi dari kemampuan berkoordinasi dan berorganisasi, kemampuan beradaptasi, kemampuan mobilitas, kemampuan tumbuh dan berkembang, serta kemampuan regenerasi.***
Membangun Efistem Budaya Sunda
Kebudayaan, dalam berbagai bentuknya, merupakan kristalisasi dari cara berpikir suaru masyarakat. Dan, cara berpikir sutau masyarakrat merupakan akumulasi dari noktah-noktah pengalaman sejarah yang dilaluinya, yang terus menerus mengalami perubahan dan sarat dengan proses evaluasi. Setiap proses sejarah kebudayaan senantiasa menyisakan debu-debu anomali disamping produk unggulan yang menjadi ciri dari suatu pase kebudayaan tertentu yang nantinya menjadi identitas dari suatu pase peradaban tertentu. Dalam konteks itulah, setiap masyarakat bangsa dengan kebudayaannya akan senantiasa berhadapan dengan problematikanya masing-masing.
Problematika budaya dalam masyarakat Sunda, seperti halnya masyarakat Indonesia pada umumnya, adalah adanya indikasi proses pengasingan atau peminggiran (marginalisasi) kebudayaan dan tradisi lokal oleh masyarakat etniknya sendiri. Hal ini lebih terasa terjadi di perkotaan, dan secara perlahan namun pasti hal yang sama terjadi di pelosok dan pedesaan.
Proses marginaliasi bahkan hilang dan matinya sebuah kebudayaan memang merupakan hal yang lumrah terjadi, akan tetapi bila kita melihat percepatan proses yang terjadi di Indonesia, khususnya yang dialami kebudayaan Sunda, terjadi dalam waktu yang relatif cepat dan terjadi secara bersamaan dalam berbagai seginya. Akhirnya, kini tradisi dan kebudayaan tradisional Sunda hanya tinggal sebagai tontonan dan “kalangenan”, serta sebagai bukti historis masa lalu etnik Sunda. Dalam dimensi ekonomis, tradisi dan kebudayaan tradisonal kini hanya sebagai asset wisata.
Entitas kebudayaan, dengan segala aspeknya, sebagai indikasi dari keberadaan suatu bangsa (etnis) tidak bisa begitu saja dinafikan dan dianggap sepele. Karena, kebudayaan dan tradisi merupakan soko-guru dan sumber referensial bagi kepribadian masyarakat bangsa atau etnik tersebut. Etnik Sunda, sebagaimana etnik dan bangsa lainnya di dunia, mengalami sejarah pertumbuhan dan perkembangan. Salah satu unsur dari entitas kebudayaan adalah sistem pengetahuan, yang secara langsung membentuk cara pandang masyarakat tersebut terhadap diri, dan dunianya. Cara pandang ini sekaligus menjadi suatu sistem keyakinan tentang “kebenaran sejati”. Suatu paradigma yang menentukan cara berpikir, bertindak dan berkreasi.
Sistem pengetahuan dan keyakinan, sebagai suatu sistem paradigma, selalu mengalami perubahan secara bertahap dan bersifat sinergis. Perubahan yang selalu sarat dengan proses evaluasi sesuai dengan tuntutan perkembangan dan tantangannya. Persoalannya adalah bagaimana prosesi perubahan itu terjadi? Dan bagaimana peran sistem pengetahuan awal (budaya dan tradisi lokal) berperan dalam prosesi perubahan itu; Dan bagaimana posisi budaya baru dalam prosesi perubahan itu.
Bila kita menggunakan teorema C.A. van Peursen tentang pase-pase perkembangan budaya yang mempetakan perubahan kebudayaan suatu bangsa, ia membagi pase perkembangan budaya itu dalam tiga babak (hingga budaya modern tentunya). Yaitu, pase mitis, ontologis dan fungsional. Van Peursen mempetakan perkembangan budaya tersebut berdasar pada pola relasi manusia (S, Subjek) dengan dirinya dan dengan lingkungannya (O, Objek). Pola relasi terbuka, tertutup dan partisipatif.
Seperti halnya masyarakat bangsa lainnya di muka bumi, masyarakat etnik Sunda pun mengalami perubahan dengan tahapan yang kurang lebih sama. Kebudayaan Sunda, bila melihat catatan sejaran kebudayaan yang kita miliki dan terima, dibangun di atas paradigma mitis yang cukup kaya dan juga sangat mengakar. Hal ini, seperti dijelaskan van Peursen, ditandai oleh tidak adanya garis pemisah yang jelas dan tegas antara manusia dan dunia, antara subjek dan objek. Masyarakat Sunda, sebagai individu, masih merupakan sebuah lingkaran yang terbuka, belum memiliki “eksistensi” yang bulat. Masyarakat Sunda masih diresapi oleh kekuatan lingkungan sosial dan alam raya.
Terdapat persoalan mendasar berkenaan dengan term “eksistensi manusia” yang digunakan dalam teorema van Peursen ini. Karena, disadari atau tidak van Peursen pun pada akhirnya termakan oleh asumsi modern tentang apa yang dimaksud dengan “individu yang bulat”, eksistensi. Yaitu individu “dewasa” yang telah memiliki kesadaran penuh untuk mandiri dan terlepas dari kungkungan dan tekanan sosial dan alam raya dalam menentukan identitas dirinya. Sementara dalam tata pikir “tradisional” pada umunya, yang disebut sebagai individu yang bulat adalah justru ketika ia berada dalam relasi yang lengkap dengan masyarakat, alam raya, kekuatan-kekuatan supra natural dan atau Tuhan. Hal ini bisa kita lihat dalam prinsip, “papat kalima pancer”. Manusia yang telah samapai pada tingkat kesempurnaan dalah manusia yang telah membangun relasi antara dirinya, alam raya serta kekuatan-kekuatan supra natural dan atau Tuhan. Hal ini dapat kita lihat dalam mitos-mitos tentang perjalanan prosesi perjalanan hidup manusia dalam mencapai kesempurnaan hidup. Hal ini dapat dilihat dalam mitos Lutung Kasarung, mitos Mundinglaya Di Kusumah, mitos Sangkuriang dan lain sebagainya.
Prinsip ini didasarkan pada asumsi tentang mikro dan makro kosmos. Pengembaraan dalam makro-kosmos tak jarang disikapi sebagai pengembaraan dalam diri (mikro-kosmos), penguasaan alam (makro kosmos) senantiasa diawali dengan penguasaan diri (mikro-kosmos). Diri (mikro-kosmos) selalu menjadi awal perjalanan dan sekaligus akhir perjalanan, itulah yang disebut dengan menemukan diri sendiri. Begitu juga, perjalanan dalam diri, selalu dimanipestasikan dalam bentuk perjalanan di alam raya (makro-kosmos).
Ketika budaya Sunda berinteraksi dengan kebudayaan dan sistem keyakinan (agama) lain dari luar: Hindu, Budha, dan Islam; budaya Sunda mengambil peran dinamis dalam proses pertemuan sistem nilai itu. Secara khusus dalam proses pertemuannya dengan Hindu dan Budha. Akan tetapi ketika terjadi pertemuan dengan sistem nilai Islam dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama (dibandingkan dengan prosesi pertemuan dengan sistem nilai Hindu dan Budha), karena tiba-tiba harus pula berhadapan dengan tekanan dari penaklukan Mataram dan kolonialisme Barat, tata pikir pikir modern dan gerakan pemurnian Islam, prosesi budaya itu mengalami kemacetan. Hambatan yang dialami dalam interaksi budaya Sunda-Islam sangat terasa ketika terjadi gerakan pemurnian Islam yang dicikan oleh kecenderungan proteksi yang radikal terhadap adanya internalisasi budaya lokal terhadap pemikiran (tafsir) keagamaan. Kecenderungan tekstual dari pemurnian Islam seolah-olah menutup seluruh kesempatan bagi terjadinya dialog pemikiran Islam dan sistem nilai lokal (budaya Sunda). Persoalan-persoalan tersebut hampir menghabiskan seluruh konsentrasi masyarakat Sunda terhadap proyek-proyek budaya, sehingga mengalami kemacetan yang cukup berarti.
Secara kultural, dalam proses awal pertemuan sistem nilai budaya Sunda dan sistem nilai Islam yang dilakukan oleh para penyebar Islam awal (para Wali), relatif berhasil. Hal ini dikarenakan para wali memberikan apresiasi positif terhadap keberadaan budaya lokal sunda, bahkan dijadikan modal dasar bagi prosesi pertemuan kultural tersebut, baik dalam aspek sistem nilai keyakinan maupun aspek budayanya.
Dalam analisa teorema strategi kebudayaan van Perseun, dapat dilihat bahwa proses peralihan dari relasi budaya mitik ke realasi ontologis yang dipelopori oleh para penyebar Islam awal yang dinakhodai oleh Sunan Gunung Jati. Sistematika efistem filsafat (Islam) dalam genre metafisika-sufistik, secara sistemtik telah mampu menjembatani pertemuan sistem pengetahuan dan efistem Sunda dengan sistem pengetahuan dan efistem Islam, walau pun belum bisa dikatakan telah selesai. Pase awal ini baru berhasil membangun dasar-dasar efistem yang mempertemukan kedua sistem pengetahuan tersebut: sistem pengetahuan Sunda-Islam. Suatu sistem pengetahuan yang apabila dilihat dalam tatapikir keagamaan secara radikal, dilihat sebagai suatu sistem pengetahuan sinkretis yang berbau “bid’ah”.
Ketika masyarakat Sunda sedang serius menggarap mega proyek filosofis yang harus disebut belum selesai ini, tiba-tiba masyarakat Sunda harus banting setir menghadapi tekanan hegemoni budaya Mataram di Tatar Sunda yang dicirikan oleh upaya peralihan pusat budaya ke timur, Mataram. Mereka “dipaksa” untuk menggunakan tatapi pikir mitis dan ontologis ala Mataram (Jawa)-Islam yang dibangun oleh delapan wali penyebar Islam lainnya. Paradigma yang “mengikis habis” fondasi efistem budaya Sunda termasuk fondasi efistem budaya Sunda-Islam yang dibangun oleh penyebar Islam di tatar Sunda, khususnya di wilayah Priangan. Bagaimana tidak disebut “dikikis habis” bila bahasa sebagai salah satu ciri paling mendasar dari suatu bangsa (etnik) mengalami goncangan luar biasa. Keberhasilan projek efistem yang dibangun oleh para perintis dan para ulama serta budayawan Sunda dan Sunda-Islam mengalami titik nadir kematiannya.
Peralihan arah angin ini membuat kebuadayaan Sunda berdiri tertatih-tatih ketika berhadapan dengan perubahan dan tekanan yang demikian keras. Berkenaan dengan hegemoni dan peralihan pusat budaya ini, Mikihiro Moriyama, mencatat “Bukan hanya ranah kesenian, tepi juga administrasi pemetintahan, gaya hidup, dan bahasa yang terkena dampaknya: selama hampir dua ratus tahun kesusastraan Sunda berkembang menurut etika Jawa. Contoh yang paling jernih adalah bentuk sajak yang dalam wilayah penuturan bahasaSunda disebut dangding, yang diadaptasi dari tembang macapat”. Yang terakhir ini, dapat kita temukan dalam kesenian Cianjuran yang kini menjadi bagian integral dari kebudayaan masyarakat Sunda, bukan hanya kebudayaan masyarakat Cianjur. Sulit dipastikan, apakah kelahiran seni tradisi Cianjuran harus disikapi sebagai keberhasilan budayawan Sunda untuk terus eksis dan berkreasi, atau malah sebagai gambaran paling jelas dari hilangnya soko guru kebudayaan Sunda di rumahnya sendiri. Fenomena yang tentunya sangat debatable.
Pada kondisi ini, budaya Sunda mengalami proses marginalisasi bahkan alienasi oleh bangsa (masyarakat)-nya sendiri, terutama oleh sejumlah bangsawan (priyayi) yang nota bene orang Sunda. Suatu kondisi seperti yang digambarkan dalam legenda Dalem Boncel, yaitu anak yang melupakan dan tidak mengakui keberadaan ibunya (asal-usul primordialnya, sistem nilai dan budaya Sunda ).
Kebudayaan adalah bayang-bayang tubuh bagi seorang manusia, yang selalu mengikutinya kemana pun tubuh itu pergi, tidak pernah terpisahkan. Kini orang Sunda dengan kebudayaannya duduk berhadapan sebagai sosok yang tidak saling mengenal, seperti seorang yang baru pertama kalinya bercermin, ia merasa asing dengan gambaran wajah dan tubuh yang terpampang di kaca cermin, di depannya.
Apa yang terjadi dengan kebudayaan Sunda dengan orang Sundanya, adalah sebuat tragedi kultural sekaligus sebagai tragedi kemanusiaan akut. Tragedi kebudayaan yang disebabkan oleh tidak tuntasnya prosesi peralihan pase budaya yang semestinya dilewati, dari satu pase ke pase selanjutnya (kamalangkem). Dalam kasus budaya Sunda, pase budaya yang tidak dilewati secara mulus adalah pasa pase ontologis. Pase yang memungkinkan lahirnya tradisi filosofis, yang secara efistemologis menjadi fondasi bagi terjadinya dialog atau partisipasi logos (tradisi rasional-filosofis) dengan mitos.
Pada abad ke-19, pernah ada seorang tokoh yang kembali berusaha untuk mengulang pase ontologis yang dilakukan oleh para pendahulunya. Ia seoarang Kyai, budayawan dan sekaligus priyayi, yaitu Penghulu K.H. Hasan Mustapa, yang melanjutkan sejumlah upaya yang dilakukan oleh pendahulunya, yaitu budayawan dan Penghulu K.H. Mochammad Musa. Dengan modal pengetahuan budaya yang dikenal baik oleh masyarakat Sunda, serta pengetahuan ilmu-ilmu keislaman yang ia dapatkan selama di tanah suci Mekah, Hasan Mustapa merumuskan suatu sistem filosofi dan efistem yang memungkinkan dijadikan landasan filosofis bagi kebudayaan Sunda. Suatu kerja raksasa yang tidak bisa dianggap ringan, apalagi dilakuakn sendirian. Sangat disayangkan bahwa karya filsafat itu hanya tersimpan sebagai khazanah mistik.
Hasan Mustapa, dalam naskah Sasaka Di Kaislaman, merumuskan kerangka efistem Sunda dengan menggambarkan relasi individu manusia sebagai suatu sosok yang senantiasa melakukan dialog Subjek-Objek, baik dengan dirinya sendiri, dengan lingkungan sosial dan alam serta dengan segenap sistem nilai yang hadir dalam masyarakatnya, dalam usahanya untuk mencapai kualitas individu yang sempurna, Insan Kamil; yaitu sosok individu yang : “sampurna taya kakurang, lantaran ngala sorangan ku pitulung Ahadiyat, jatnika ku sangsarana”. Kesadaran ini dicapai ketika seluruh penginderaan, pikiran, perasaan, dan rasa menyatu dalam “rasa sajati ning rasa”, yaitu ketika “rasa” manusia bersatu dengan rasa Tuhan. Dalam istilah Hasan Mustapa kondisi demikian muncul dari kedekatan aing dengan Tuhan dalam relasi partisipatif, ngadu rasa pada rasa.
Kebudayaan, dalam berbagai bentuknya, merupakan kristalisasi dari cara berpikir suaru masyarakat. Dan, cara berpikir sutau masyarakrat merupakan akumulasi dari noktah-noktah pengalaman sejarah yang dilaluinya, yang terus menerus mengalami perubahan dan sarat dengan proses evaluasi. Setiap proses sejarah kebudayaan senantiasa menyisakan debu-debu anomali disamping produk unggulan yang menjadi ciri dari suatu pase kebudayaan tertentu yang nantinya menjadi identitas dari suatu pase peradaban tertentu. Dalam konteks itulah, setiap masyarakat bangsa dengan kebudayaannya akan senantiasa berhadapan dengan problematikanya masing-masing.
Problematika budaya dalam masyarakat Sunda, seperti halnya masyarakat Indonesia pada umumnya, adalah adanya indikasi proses pengasingan atau peminggiran (marginalisasi) kebudayaan dan tradisi lokal oleh masyarakat etniknya sendiri. Hal ini lebih terasa terjadi di perkotaan, dan secara perlahan namun pasti hal yang sama terjadi di pelosok dan pedesaan.
Proses marginaliasi bahkan hilang dan matinya sebuah kebudayaan memang merupakan hal yang lumrah terjadi, akan tetapi bila kita melihat percepatan proses yang terjadi di Indonesia, khususnya yang dialami kebudayaan Sunda, terjadi dalam waktu yang relatif cepat dan terjadi secara bersamaan dalam berbagai seginya. Akhirnya, kini tradisi dan kebudayaan tradisional Sunda hanya tinggal sebagai tontonan dan “kalangenan”, serta sebagai bukti historis masa lalu etnik Sunda. Dalam dimensi ekonomis, tradisi dan kebudayaan tradisonal kini hanya sebagai asset wisata.
Entitas kebudayaan, dengan segala aspeknya, sebagai indikasi dari keberadaan suatu bangsa (etnis) tidak bisa begitu saja dinafikan dan dianggap sepele. Karena, kebudayaan dan tradisi merupakan soko-guru dan sumber referensial bagi kepribadian masyarakat bangsa atau etnik tersebut. Etnik Sunda, sebagaimana etnik dan bangsa lainnya di dunia, mengalami sejarah pertumbuhan dan perkembangan. Salah satu unsur dari entitas kebudayaan adalah sistem pengetahuan, yang secara langsung membentuk cara pandang masyarakat tersebut terhadap diri, dan dunianya. Cara pandang ini sekaligus menjadi suatu sistem keyakinan tentang “kebenaran sejati”. Suatu paradigma yang menentukan cara berpikir, bertindak dan berkreasi.
Sistem pengetahuan dan keyakinan, sebagai suatu sistem paradigma, selalu mengalami perubahan secara bertahap dan bersifat sinergis. Perubahan yang selalu sarat dengan proses evaluasi sesuai dengan tuntutan perkembangan dan tantangannya. Persoalannya adalah bagaimana prosesi perubahan itu terjadi? Dan bagaimana peran sistem pengetahuan awal (budaya dan tradisi lokal) berperan dalam prosesi perubahan itu; Dan bagaimana posisi budaya baru dalam prosesi perubahan itu.
Bila kita menggunakan teorema C.A. van Peursen tentang pase-pase perkembangan budaya yang mempetakan perubahan kebudayaan suatu bangsa, ia membagi pase perkembangan budaya itu dalam tiga babak (hingga budaya modern tentunya). Yaitu, pase mitis, ontologis dan fungsional. Van Peursen mempetakan perkembangan budaya tersebut berdasar pada pola relasi manusia (S, Subjek) dengan dirinya dan dengan lingkungannya (O, Objek). Pola relasi terbuka, tertutup dan partisipatif.
Seperti halnya masyarakat bangsa lainnya di muka bumi, masyarakat etnik Sunda pun mengalami perubahan dengan tahapan yang kurang lebih sama. Kebudayaan Sunda, bila melihat catatan sejaran kebudayaan yang kita miliki dan terima, dibangun di atas paradigma mitis yang cukup kaya dan juga sangat mengakar. Hal ini, seperti dijelaskan van Peursen, ditandai oleh tidak adanya garis pemisah yang jelas dan tegas antara manusia dan dunia, antara subjek dan objek. Masyarakat Sunda, sebagai individu, masih merupakan sebuah lingkaran yang terbuka, belum memiliki “eksistensi” yang bulat. Masyarakat Sunda masih diresapi oleh kekuatan lingkungan sosial dan alam raya.
Terdapat persoalan mendasar berkenaan dengan term “eksistensi manusia” yang digunakan dalam teorema van Peursen ini. Karena, disadari atau tidak van Peursen pun pada akhirnya termakan oleh asumsi modern tentang apa yang dimaksud dengan “individu yang bulat”, eksistensi. Yaitu individu “dewasa” yang telah memiliki kesadaran penuh untuk mandiri dan terlepas dari kungkungan dan tekanan sosial dan alam raya dalam menentukan identitas dirinya. Sementara dalam tata pikir “tradisional” pada umunya, yang disebut sebagai individu yang bulat adalah justru ketika ia berada dalam relasi yang lengkap dengan masyarakat, alam raya, kekuatan-kekuatan supra natural dan atau Tuhan. Hal ini bisa kita lihat dalam prinsip, “papat kalima pancer”. Manusia yang telah samapai pada tingkat kesempurnaan dalah manusia yang telah membangun relasi antara dirinya, alam raya serta kekuatan-kekuatan supra natural dan atau Tuhan. Hal ini dapat kita lihat dalam mitos-mitos tentang perjalanan prosesi perjalanan hidup manusia dalam mencapai kesempurnaan hidup. Hal ini dapat dilihat dalam mitos Lutung Kasarung, mitos Mundinglaya Di Kusumah, mitos Sangkuriang dan lain sebagainya.
Prinsip ini didasarkan pada asumsi tentang mikro dan makro kosmos. Pengembaraan dalam makro-kosmos tak jarang disikapi sebagai pengembaraan dalam diri (mikro-kosmos), penguasaan alam (makro kosmos) senantiasa diawali dengan penguasaan diri (mikro-kosmos). Diri (mikro-kosmos) selalu menjadi awal perjalanan dan sekaligus akhir perjalanan, itulah yang disebut dengan menemukan diri sendiri. Begitu juga, perjalanan dalam diri, selalu dimanipestasikan dalam bentuk perjalanan di alam raya (makro-kosmos).
Ketika budaya Sunda berinteraksi dengan kebudayaan dan sistem keyakinan (agama) lain dari luar: Hindu, Budha, dan Islam; budaya Sunda mengambil peran dinamis dalam proses pertemuan sistem nilai itu. Secara khusus dalam proses pertemuannya dengan Hindu dan Budha. Akan tetapi ketika terjadi pertemuan dengan sistem nilai Islam dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama (dibandingkan dengan prosesi pertemuan dengan sistem nilai Hindu dan Budha), karena tiba-tiba harus pula berhadapan dengan tekanan dari penaklukan Mataram dan kolonialisme Barat, tata pikir pikir modern dan gerakan pemurnian Islam, prosesi budaya itu mengalami kemacetan. Hambatan yang dialami dalam interaksi budaya Sunda-Islam sangat terasa ketika terjadi gerakan pemurnian Islam yang dicikan oleh kecenderungan proteksi yang radikal terhadap adanya internalisasi budaya lokal terhadap pemikiran (tafsir) keagamaan. Kecenderungan tekstual dari pemurnian Islam seolah-olah menutup seluruh kesempatan bagi terjadinya dialog pemikiran Islam dan sistem nilai lokal (budaya Sunda). Persoalan-persoalan tersebut hampir menghabiskan seluruh konsentrasi masyarakat Sunda terhadap proyek-proyek budaya, sehingga mengalami kemacetan yang cukup berarti.
Secara kultural, dalam proses awal pertemuan sistem nilai budaya Sunda dan sistem nilai Islam yang dilakukan oleh para penyebar Islam awal (para Wali), relatif berhasil. Hal ini dikarenakan para wali memberikan apresiasi positif terhadap keberadaan budaya lokal sunda, bahkan dijadikan modal dasar bagi prosesi pertemuan kultural tersebut, baik dalam aspek sistem nilai keyakinan maupun aspek budayanya.
Dalam analisa teorema strategi kebudayaan van Perseun, dapat dilihat bahwa proses peralihan dari relasi budaya mitik ke realasi ontologis yang dipelopori oleh para penyebar Islam awal yang dinakhodai oleh Sunan Gunung Jati. Sistematika efistem filsafat (Islam) dalam genre metafisika-sufistik, secara sistemtik telah mampu menjembatani pertemuan sistem pengetahuan dan efistem Sunda dengan sistem pengetahuan dan efistem Islam, walau pun belum bisa dikatakan telah selesai. Pase awal ini baru berhasil membangun dasar-dasar efistem yang mempertemukan kedua sistem pengetahuan tersebut: sistem pengetahuan Sunda-Islam. Suatu sistem pengetahuan yang apabila dilihat dalam tatapikir keagamaan secara radikal, dilihat sebagai suatu sistem pengetahuan sinkretis yang berbau “bid’ah”.
Ketika masyarakat Sunda sedang serius menggarap mega proyek filosofis yang harus disebut belum selesai ini, tiba-tiba masyarakat Sunda harus banting setir menghadapi tekanan hegemoni budaya Mataram di Tatar Sunda yang dicirikan oleh upaya peralihan pusat budaya ke timur, Mataram. Mereka “dipaksa” untuk menggunakan tatapi pikir mitis dan ontologis ala Mataram (Jawa)-Islam yang dibangun oleh delapan wali penyebar Islam lainnya. Paradigma yang “mengikis habis” fondasi efistem budaya Sunda termasuk fondasi efistem budaya Sunda-Islam yang dibangun oleh penyebar Islam di tatar Sunda, khususnya di wilayah Priangan. Bagaimana tidak disebut “dikikis habis” bila bahasa sebagai salah satu ciri paling mendasar dari suatu bangsa (etnik) mengalami goncangan luar biasa. Keberhasilan projek efistem yang dibangun oleh para perintis dan para ulama serta budayawan Sunda dan Sunda-Islam mengalami titik nadir kematiannya.
Peralihan arah angin ini membuat kebuadayaan Sunda berdiri tertatih-tatih ketika berhadapan dengan perubahan dan tekanan yang demikian keras. Berkenaan dengan hegemoni dan peralihan pusat budaya ini, Mikihiro Moriyama, mencatat “Bukan hanya ranah kesenian, tepi juga administrasi pemetintahan, gaya hidup, dan bahasa yang terkena dampaknya: selama hampir dua ratus tahun kesusastraan Sunda berkembang menurut etika Jawa. Contoh yang paling jernih adalah bentuk sajak yang dalam wilayah penuturan bahasaSunda disebut dangding, yang diadaptasi dari tembang macapat”. Yang terakhir ini, dapat kita temukan dalam kesenian Cianjuran yang kini menjadi bagian integral dari kebudayaan masyarakat Sunda, bukan hanya kebudayaan masyarakat Cianjur. Sulit dipastikan, apakah kelahiran seni tradisi Cianjuran harus disikapi sebagai keberhasilan budayawan Sunda untuk terus eksis dan berkreasi, atau malah sebagai gambaran paling jelas dari hilangnya soko guru kebudayaan Sunda di rumahnya sendiri. Fenomena yang tentunya sangat debatable.
Pada kondisi ini, budaya Sunda mengalami proses marginalisasi bahkan alienasi oleh bangsa (masyarakat)-nya sendiri, terutama oleh sejumlah bangsawan (priyayi) yang nota bene orang Sunda. Suatu kondisi seperti yang digambarkan dalam legenda Dalem Boncel, yaitu anak yang melupakan dan tidak mengakui keberadaan ibunya (asal-usul primordialnya, sistem nilai dan budaya Sunda ).
Kebudayaan adalah bayang-bayang tubuh bagi seorang manusia, yang selalu mengikutinya kemana pun tubuh itu pergi, tidak pernah terpisahkan. Kini orang Sunda dengan kebudayaannya duduk berhadapan sebagai sosok yang tidak saling mengenal, seperti seorang yang baru pertama kalinya bercermin, ia merasa asing dengan gambaran wajah dan tubuh yang terpampang di kaca cermin, di depannya.
Apa yang terjadi dengan kebudayaan Sunda dengan orang Sundanya, adalah sebuat tragedi kultural sekaligus sebagai tragedi kemanusiaan akut. Tragedi kebudayaan yang disebabkan oleh tidak tuntasnya prosesi peralihan pase budaya yang semestinya dilewati, dari satu pase ke pase selanjutnya (kamalangkem). Dalam kasus budaya Sunda, pase budaya yang tidak dilewati secara mulus adalah pasa pase ontologis. Pase yang memungkinkan lahirnya tradisi filosofis, yang secara efistemologis menjadi fondasi bagi terjadinya dialog atau partisipasi logos (tradisi rasional-filosofis) dengan mitos.
Pada abad ke-19, pernah ada seorang tokoh yang kembali berusaha untuk mengulang pase ontologis yang dilakukan oleh para pendahulunya. Ia seoarang Kyai, budayawan dan sekaligus priyayi, yaitu Penghulu K.H. Hasan Mustapa, yang melanjutkan sejumlah upaya yang dilakukan oleh pendahulunya, yaitu budayawan dan Penghulu K.H. Mochammad Musa. Dengan modal pengetahuan budaya yang dikenal baik oleh masyarakat Sunda, serta pengetahuan ilmu-ilmu keislaman yang ia dapatkan selama di tanah suci Mekah, Hasan Mustapa merumuskan suatu sistem filosofi dan efistem yang memungkinkan dijadikan landasan filosofis bagi kebudayaan Sunda. Suatu kerja raksasa yang tidak bisa dianggap ringan, apalagi dilakuakn sendirian. Sangat disayangkan bahwa karya filsafat itu hanya tersimpan sebagai khazanah mistik.
Hasan Mustapa, dalam naskah Sasaka Di Kaislaman, merumuskan kerangka efistem Sunda dengan menggambarkan relasi individu manusia sebagai suatu sosok yang senantiasa melakukan dialog Subjek-Objek, baik dengan dirinya sendiri, dengan lingkungan sosial dan alam serta dengan segenap sistem nilai yang hadir dalam masyarakatnya, dalam usahanya untuk mencapai kualitas individu yang sempurna, Insan Kamil; yaitu sosok individu yang : “sampurna taya kakurang, lantaran ngala sorangan ku pitulung Ahadiyat, jatnika ku sangsarana”. Kesadaran ini dicapai ketika seluruh penginderaan, pikiran, perasaan, dan rasa menyatu dalam “rasa sajati ning rasa”, yaitu ketika “rasa” manusia bersatu dengan rasa Tuhan. Dalam istilah Hasan Mustapa kondisi demikian muncul dari kedekatan aing dengan Tuhan dalam relasi partisipatif, ngadu rasa pada rasa.
Seni
Sunda ”Buhun” Kian Ditinggal
(dari pikiran-rakyat.com)
Berbagai jenis kesenian tradisional asli Sunda khususnya seni Sunda buhun nyaris punah akibat banyak ditinggalkan masyarakatnya sendiri. Sebagai seni yang menjadi kekayaan budaya lokal, seni Sunda buhun terus kehilangan penerusnya akibat para pelaku seninya kurang mendapat tempat dan dihargai publik, serta terdesak seni pop modern yang dianggap lebih menarik.
Guru Besar Bahasa dan Sastra Universitas Pendidikan Indonesia, Prof. Dr. Yus Rusyana mengatakan, kondisi tradisional Sunda buhun saat ini secara berangsur mulai menghilang. “Dewasa ini generasi muda lebih menyenangi seni yang datangnya dari luar dibandingkan kesenian asli milik bangsa sendiri,” ujarnya, dalam acara Rembuk Tokoh Sunda, Menggali Akar Budaya Sunda Buhun, Senin (14/3) di Aula Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat, Jalan R.E. Martadinata 209 Bandung.
Acara itu dihadiri sejumlah tokoh seni dan budayawan Sunda, seperti Prof. Saini KM, Prof. Dr. Karna Yudibrata, Dra. Hj. Popong Otje Djunjunan, Nano S., Euis Suhaenah M. Hum, dan Pengurus PB Pusat Pasundan Daum.
Kang Yus –demikian Yus Rusyana akrab disapa– menegaskan bahwa saat ini seni budaya Sunda terus mengalami pergeseran. Bahkan seni Sunda buhun yang merupakan seni leluhur sudah sulit ditemui. Padahal, seni budaya Sunda buhun dikenal sangat kaya nilai. Mulai dari hubungan antara manusia dengan Tuhannya, manusia dengan mausia lain, hingga hubungan manusia dengan alamnya.
Untuk itu, Yus sangat mendukung berbagai upaya pelestarian seni budaya Sunda. “Jika tidak diantisipasi dengan langkah-langkah pelestarian, kekayaan tradisi tersebut akan tinggal menjadi sejarah,” ujarnya.
Sementara Dra. Hj. Popong Otje Djundjunan mengatakan, untuk membangkitkan gairah para pelaku seni budaya Sunda buhun perlu diberikan semacam rangsangan. “Selama ini penghargaan terhadap pelaku seni sangat jarang, padahal para seniman tidak meminta imbalan berupa materi terhadap upayanya melestarikan seni turun temurun. Mereka hanya ingin ada semacam pengakuan dari pemerintah,” ujarnya.
Seni budaya Sunda buhun semakin ditinggalkan masyarakat karena dinilai monoton sehingga tidak memiliki daya jual yang menarik. Kondisi itu diperparah oleh tidak adanya dukungan publik dan modal dari pemerintah sehingga jarang bisa ditampilkan lagi di tengah masyarakat.
Untuk melestarikan seni budaya sunda buhun yang terus menghilang, Ny. Popong mengusulkan agar diselenggarakan kegiatan semacam ekshibisi atau tontonan secara resmi. Seni yang digelar tidak hanya berupa seni ibing (gerak–red.) tetapi juga seni tabeuh (pukul), maupun seni sora (suara).
Selain itu untuk menentukan bahwa seni tersebut merupakan seni Sunda buhun perlu ditetapkan kriteria. “Untuk menentukannya saat ini sangat sulit karena seni Sunda sudah banyak mengadopsi seni dari luar,” ujarnya.
Hal senada dikatakan seniman, budayawan dan guru seni di STSI Bandung, Nano S.. Ia mengatakan, seniman Sunda buhun dewasa ini sangat tidak dihargai lagi, tidak saja oleh masyarakatnya sendiri tetapi juga oleh pemerintah. “Kalau memang masih mendapat tempat, bila sedang pentas pasti akan ditonton. Pemerintah daerah pun sering menganggap para seniman itu menjadi beban,” ujarnya.
Dikatakan Nano, dalam beberapa tahun kebelakang seni budaya Sunda buhun dapat dipastikan akan menjadi barang kuno bila tidak segera dilestarikan dan dikembangkan kembali. “Untuk itu kiranya dalam memahami seni budaya Sunda buhun tidak dikaitkan dengan akidah atau agama yang selama ini sering menjadi pagar antara boleh dan tidak,” ujar Nano.
(dari pikiran-rakyat.com)
Berbagai jenis kesenian tradisional asli Sunda khususnya seni Sunda buhun nyaris punah akibat banyak ditinggalkan masyarakatnya sendiri. Sebagai seni yang menjadi kekayaan budaya lokal, seni Sunda buhun terus kehilangan penerusnya akibat para pelaku seninya kurang mendapat tempat dan dihargai publik, serta terdesak seni pop modern yang dianggap lebih menarik.
Guru Besar Bahasa dan Sastra Universitas Pendidikan Indonesia, Prof. Dr. Yus Rusyana mengatakan, kondisi tradisional Sunda buhun saat ini secara berangsur mulai menghilang. “Dewasa ini generasi muda lebih menyenangi seni yang datangnya dari luar dibandingkan kesenian asli milik bangsa sendiri,” ujarnya, dalam acara Rembuk Tokoh Sunda, Menggali Akar Budaya Sunda Buhun, Senin (14/3) di Aula Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat, Jalan R.E. Martadinata 209 Bandung.
Acara itu dihadiri sejumlah tokoh seni dan budayawan Sunda, seperti Prof. Saini KM, Prof. Dr. Karna Yudibrata, Dra. Hj. Popong Otje Djunjunan, Nano S., Euis Suhaenah M. Hum, dan Pengurus PB Pusat Pasundan Daum.
Kang Yus –demikian Yus Rusyana akrab disapa– menegaskan bahwa saat ini seni budaya Sunda terus mengalami pergeseran. Bahkan seni Sunda buhun yang merupakan seni leluhur sudah sulit ditemui. Padahal, seni budaya Sunda buhun dikenal sangat kaya nilai. Mulai dari hubungan antara manusia dengan Tuhannya, manusia dengan mausia lain, hingga hubungan manusia dengan alamnya.
Untuk itu, Yus sangat mendukung berbagai upaya pelestarian seni budaya Sunda. “Jika tidak diantisipasi dengan langkah-langkah pelestarian, kekayaan tradisi tersebut akan tinggal menjadi sejarah,” ujarnya.
Sementara Dra. Hj. Popong Otje Djundjunan mengatakan, untuk membangkitkan gairah para pelaku seni budaya Sunda buhun perlu diberikan semacam rangsangan. “Selama ini penghargaan terhadap pelaku seni sangat jarang, padahal para seniman tidak meminta imbalan berupa materi terhadap upayanya melestarikan seni turun temurun. Mereka hanya ingin ada semacam pengakuan dari pemerintah,” ujarnya.
Seni budaya Sunda buhun semakin ditinggalkan masyarakat karena dinilai monoton sehingga tidak memiliki daya jual yang menarik. Kondisi itu diperparah oleh tidak adanya dukungan publik dan modal dari pemerintah sehingga jarang bisa ditampilkan lagi di tengah masyarakat.
Untuk melestarikan seni budaya sunda buhun yang terus menghilang, Ny. Popong mengusulkan agar diselenggarakan kegiatan semacam ekshibisi atau tontonan secara resmi. Seni yang digelar tidak hanya berupa seni ibing (gerak–red.) tetapi juga seni tabeuh (pukul), maupun seni sora (suara).
Selain itu untuk menentukan bahwa seni tersebut merupakan seni Sunda buhun perlu ditetapkan kriteria. “Untuk menentukannya saat ini sangat sulit karena seni Sunda sudah banyak mengadopsi seni dari luar,” ujarnya.
Hal senada dikatakan seniman, budayawan dan guru seni di STSI Bandung, Nano S.. Ia mengatakan, seniman Sunda buhun dewasa ini sangat tidak dihargai lagi, tidak saja oleh masyarakatnya sendiri tetapi juga oleh pemerintah. “Kalau memang masih mendapat tempat, bila sedang pentas pasti akan ditonton. Pemerintah daerah pun sering menganggap para seniman itu menjadi beban,” ujarnya.
Dikatakan Nano, dalam beberapa tahun kebelakang seni budaya Sunda buhun dapat dipastikan akan menjadi barang kuno bila tidak segera dilestarikan dan dikembangkan kembali. “Untuk itu kiranya dalam memahami seni budaya Sunda buhun tidak dikaitkan dengan akidah atau agama yang selama ini sering menjadi pagar antara boleh dan tidak,” ujar Nano.
Seni Sunda Pascapemisahan Banten
Oleh IYUS RUSLIANA
SEMENJAK wilayah Banten pada tahun 2000 diresmikan menjadi Provinsi Banten, maka secara geografis yang termasuk Provinsi Jawa Barat berkurang, termasuk jumlah wilayah administrasi pemerintahan kota dan kabupaten. Dengan adanya perubahan ini, terbukti dalam waktu yang singkat bermunculan atlas atau peta wilayah Jawa Barat yang baru dalam bermacam kemasan. Oleh karena itu, berbagai lapisan masyarakat yang memerlukan tidaklah sulit untuk mencari dan membelinya, baik tersedia di toko-toko buku maupun yang dijajakan di pinggir-pinggir jalan di seluruh kota dan kabupaten di wilayah Provinsi Jawa Barat.
Akan tetapi, setelah Banten menjadi provinsi, apakah kekayaan dan keanekaragaman kesenian Sunda di Jawa Barat hingga kini menjadi berkurang? Kiranya sulit dipastikan berkurang atau bertambah. Permasalahan ini diangkat karena hingga kini tidak sedikit dari individu dan kelompok masyarakat yang memerlukan informasi tentang kekayaan dan keanekaragaman kesenian Sunda di Jawa Barat, ternyata sulit mencarinya, baik tertulis dalam bentuk pendataan maupun pemetaan.
Mengenai istilah Sunda untuk menyebut kebudayaan dan kesenian khas Jawa Barat, ternyata masih ada yang mengartikannya agak sempit. Alasannya, karena sebutan atau istilah Sunda digunakan untuk nama bahasa yang menjadi khas masyarakat di wilayah Priangan. Oleh karena itu, daerah-daerah tertentu di Jawa Barat yang tradisinya tidak menggunakan bahasa Sunda, ada yang cenderung menyangkal atau tidak mau mengakui jika keseniannya disebut sebagai kesenian Sunda, tetapi ingin sebutannya menggunakan nama bahasa yang mentradisi di daerah itu. Menurut Edi S. Ekajati, bahwa sebutan "Sunda" identik dengan Jawa Barat, tetapi sebutan "Jawa Barat" digunakan untuk menyebut wilayah administrasi pemerintahan provinsi dan istilah "Sunda" digunakan dalam pengertian kebudayaan (1995: 12-14).
Dalam lingkup kebudayaan Sunda terdapat subkultur Cirebon, subkultur Banten, dan subkultur Priangan. Berarti, kebudayaan Sunda yang ada di Jawa Barat sekarang ini terdiri dari subkebudayaan Cirebon dan subkebudayaan Priangan. Maka, untuk menengahi permasalahan ini boleh saja dikatakan, bahwa di dalam kekayaan dan keanekaragaman kesenian Sunda di Jawa Barat terdapat kekayaannya yang khas Cirebon dan khas Priangan. Adapun pengertian kesenian Sunda di sini, adalah untuk menunjuk pada produk-produk seni Sunda yang lazim disajikan dalam bentuk pertunjukan atau bukan dalam bentuk pameran dan lain-lain.
Menelusuri keberadaan kekayaan kesenian Sunda sebelum Banten menjadi provinsi, antara lain bisa ditinjau berdasarkan fungsi atau kegunaan dalam tatanan kehidupan budaya tradisi masyarakatnya. Pertama, ada sejumlah kesenian sebagai sarana upacara adat dalan fenomena lingkaran alamiah, dan dalan fenomena lingkaran kehidupan manusia. Kedua, ada sejumlah kekayaan kesenian sebagai sarana hiburan dan pergaulan atau kalangenan. Ketiga, ada sejumlah kekayaan kesenian yang keberadaannya berperan khusus sebagai sarana komunikasi seni atau sering disebut sebagai seni pertunjukan. Kemudian dari setiap kekayaan kesenian ini memiliki potensinya yang cukup variatif jika ditinjau berdasarkan keanekaragamannya, antara lain di dalam menggunakan tempat penyajian kesenian tersebut. Pertama, ada yang disajikan secara menetap di suatu tempat yang khas. Umpamanya kesenian sebagai sarana upacara adat, ada yang mentradisi disajikan di dalam rumah, di halaman rumah, di tempat menumbuk padi atau saung lisung, di tempat penyimpanan pada atau leuit, dan juga ada yang disajikan di ladang seperti halnya upacara adat menanam padi bagi masyarakat agraris ngahuma yang disebut ngaseuk.
Kedua, adalah kesenian sebagai sarana hiburan atau pergaulan yang disajikan di ruang-ruang tertutup, pendopo, di lapangan terbuka, dan disajikan di panggung balandongan seperti halnya hiburan rakyat yang disebut bajidoran. Ketiga, kesenian sebagai seni pertunjukan, pada umumnya bisa disajikan di arena terbuka dan tertutup, pendopo, panggung balandongan, serta panggung berbentuk proscenium terbuka dan tertutup seperti halnya pertunjukan longser, wayang golek, gending karasmen, dan sendratari.
Keempat, ada juga tradisi tempat penyajian kesenian Sunda yang unik, yakni disajikan dengan tidak menetap di suatu tempat, melainkan disajikan menyusuri sepanjang jalan seperti arak-arakan atau pawai. Kesenian Sunda seperti ini biasa disebut sebagai seni helaran, antara lain: ada yang berangkatnya dari suatu tempat dan kemudian berkeliling menyusuri jalan dan kembali ke tempat semula, seperti halnya sisingaan yang digunakan sebagai sarana upacara adat khitanan; dan ada juga yang berangkatnya dari sawah atau ladang dan kemudian menyusuri jalan menuju ke tempat penyimpanan padi, seperti kesenian rengkong sebagai sarana upacara adat ngakut pare atau mengangkut padi.
Sarana upacara
Keanekaragaman kesenian Sunda sebagai sarana upacara adat bisa juga ditinjau berdasarkan peristiwanya. Pertama dalam fenomena ritus budaya agraris atau pertanian seperti tarawangsa, dan pastoral, atau penggembala dan peternakan seperti pesta dadung. Kedua, dalam fenomena lingkaran kehidupan manusia antara lain: keanekaragaman kesenian yang berkaitan dengan peristiwa khitanan seperti kuda renggong, berkaitan dengan peristiwa perkawinan seperti parebut seeng, dan berkaitan dengan peristiwa mengusir wabah penyakit seperti berokan.
Selain itu, ada keanekaragaman kesenian sebagai sarana hiburan atau kalangenan bisa ditinjau berdasarkan derajat sosial pelakunya, antara lain: tradisi hiburan di masa lalu bagi kalangan menak atau bangsawan dan keluarga keraton yang disebut tayuban, dan bagi kalangan rakyat biasa yang disebut ketuk tilu. Sedangkan keanekaragaman kesenian Sunda sebagai seni pertunjukan dapat ditinjau berdasarkan bentuk penyajiannya:
Pertama, kesenian yang disebut drama atau teater, terdiri dari teater boneka atau pelakunya berwujud boneka seperti halnya wayang golek, wayang cepak, dan wayang kulit, serta teater manusia atau para pelakunya manusia seperti longser, sandiwara, ubrug, dan banyet.
Kedua ialah keanekaragaman kesenian yang disebut karawitan, terdiri dari karawitan sekar atau nyanyian seperti beluk dan cigawiran, karawitan gendingan atau instrumentalia seperti kendang penca, degung, dan gembyung, serta karawitan sekar gending seperti tembang, kiliningan, dan terbangan. Adapun yang ketiga ialah keanekaragaman kesenian yang disebut tari, terdiri dari pertunjukan dramatari seperti wayang topeng atau wayang wong Cirebon, wayang wong Priangan, dan beberapa macam sendratari seperti sendratari Lutung Kasarung dan sendratari Ramayana. Selain itu ada keanekaragamannya dari pertunjukan tari-tarian seperti dari tarian topeng Cirebon, tarian rakyat, tarian pencak silat, tarian keurseus, tarian wayang, serta tari-tarian karya R. Tjetje Somantri dan tarian Jaipongan karya Gugum Gumbira.
Paparan mengenai kekayaan dan keanekaragaman kesenian Sunda yang dikemukakan di atas, hanyalah sekadar contohnya saja. Berdasarkan buku tentang Laporan Data Jenis dan Organisasi Kesenian Provinsi Jawa Barat Tahun 1981-1982 yang diterbitkan oleh Projek Pengembangan Kesenian Sunda, Kanwil. Dep. Dikbud. Provinsi Jawa Barat, bahwa kekayaan dan keanekaragaman kesenian Sunda tertulis sebanyak 107 jenis kesenian (1982: i). Oleh karena itu, bisa saja kekayaan dan keanekaragaman kesenian Sunda khas Cirebon dan khas Priangan di masa kini, terjadi penyusutan atau bertambah banyak. Bahkan, tidak menutup kemungkinan ada kesenian di habitatnya sudah punah, tetapi di luar habitatnya atau di daerah lain malah tumbuh dalam kondisi yang baik.
Dengan demikian, amat penting dan ditunggu dengan segera adanya pihak-pihak yang kompeten untuk menerbitkan hasil pendataan dan sekaligus pemetaan daerah habitatnya atau yang menjadi penyangga kesenian Sunda. Sehingga akan memudahkan dalam membantu siapa saja yang berkepentingan untuk melakukan studi, penelitian, kunjungan wisata, dan lain-lain. (Penulis, staf pengajar STSI Bandung)**
Oleh IYUS RUSLIANA
SEMENJAK wilayah Banten pada tahun 2000 diresmikan menjadi Provinsi Banten, maka secara geografis yang termasuk Provinsi Jawa Barat berkurang, termasuk jumlah wilayah administrasi pemerintahan kota dan kabupaten. Dengan adanya perubahan ini, terbukti dalam waktu yang singkat bermunculan atlas atau peta wilayah Jawa Barat yang baru dalam bermacam kemasan. Oleh karena itu, berbagai lapisan masyarakat yang memerlukan tidaklah sulit untuk mencari dan membelinya, baik tersedia di toko-toko buku maupun yang dijajakan di pinggir-pinggir jalan di seluruh kota dan kabupaten di wilayah Provinsi Jawa Barat.
Akan tetapi, setelah Banten menjadi provinsi, apakah kekayaan dan keanekaragaman kesenian Sunda di Jawa Barat hingga kini menjadi berkurang? Kiranya sulit dipastikan berkurang atau bertambah. Permasalahan ini diangkat karena hingga kini tidak sedikit dari individu dan kelompok masyarakat yang memerlukan informasi tentang kekayaan dan keanekaragaman kesenian Sunda di Jawa Barat, ternyata sulit mencarinya, baik tertulis dalam bentuk pendataan maupun pemetaan.
Mengenai istilah Sunda untuk menyebut kebudayaan dan kesenian khas Jawa Barat, ternyata masih ada yang mengartikannya agak sempit. Alasannya, karena sebutan atau istilah Sunda digunakan untuk nama bahasa yang menjadi khas masyarakat di wilayah Priangan. Oleh karena itu, daerah-daerah tertentu di Jawa Barat yang tradisinya tidak menggunakan bahasa Sunda, ada yang cenderung menyangkal atau tidak mau mengakui jika keseniannya disebut sebagai kesenian Sunda, tetapi ingin sebutannya menggunakan nama bahasa yang mentradisi di daerah itu. Menurut Edi S. Ekajati, bahwa sebutan "Sunda" identik dengan Jawa Barat, tetapi sebutan "Jawa Barat" digunakan untuk menyebut wilayah administrasi pemerintahan provinsi dan istilah "Sunda" digunakan dalam pengertian kebudayaan (1995: 12-14).
Dalam lingkup kebudayaan Sunda terdapat subkultur Cirebon, subkultur Banten, dan subkultur Priangan. Berarti, kebudayaan Sunda yang ada di Jawa Barat sekarang ini terdiri dari subkebudayaan Cirebon dan subkebudayaan Priangan. Maka, untuk menengahi permasalahan ini boleh saja dikatakan, bahwa di dalam kekayaan dan keanekaragaman kesenian Sunda di Jawa Barat terdapat kekayaannya yang khas Cirebon dan khas Priangan. Adapun pengertian kesenian Sunda di sini, adalah untuk menunjuk pada produk-produk seni Sunda yang lazim disajikan dalam bentuk pertunjukan atau bukan dalam bentuk pameran dan lain-lain.
Menelusuri keberadaan kekayaan kesenian Sunda sebelum Banten menjadi provinsi, antara lain bisa ditinjau berdasarkan fungsi atau kegunaan dalam tatanan kehidupan budaya tradisi masyarakatnya. Pertama, ada sejumlah kesenian sebagai sarana upacara adat dalan fenomena lingkaran alamiah, dan dalan fenomena lingkaran kehidupan manusia. Kedua, ada sejumlah kekayaan kesenian sebagai sarana hiburan dan pergaulan atau kalangenan. Ketiga, ada sejumlah kekayaan kesenian yang keberadaannya berperan khusus sebagai sarana komunikasi seni atau sering disebut sebagai seni pertunjukan. Kemudian dari setiap kekayaan kesenian ini memiliki potensinya yang cukup variatif jika ditinjau berdasarkan keanekaragamannya, antara lain di dalam menggunakan tempat penyajian kesenian tersebut. Pertama, ada yang disajikan secara menetap di suatu tempat yang khas. Umpamanya kesenian sebagai sarana upacara adat, ada yang mentradisi disajikan di dalam rumah, di halaman rumah, di tempat menumbuk padi atau saung lisung, di tempat penyimpanan pada atau leuit, dan juga ada yang disajikan di ladang seperti halnya upacara adat menanam padi bagi masyarakat agraris ngahuma yang disebut ngaseuk.
Kedua, adalah kesenian sebagai sarana hiburan atau pergaulan yang disajikan di ruang-ruang tertutup, pendopo, di lapangan terbuka, dan disajikan di panggung balandongan seperti halnya hiburan rakyat yang disebut bajidoran. Ketiga, kesenian sebagai seni pertunjukan, pada umumnya bisa disajikan di arena terbuka dan tertutup, pendopo, panggung balandongan, serta panggung berbentuk proscenium terbuka dan tertutup seperti halnya pertunjukan longser, wayang golek, gending karasmen, dan sendratari.
Keempat, ada juga tradisi tempat penyajian kesenian Sunda yang unik, yakni disajikan dengan tidak menetap di suatu tempat, melainkan disajikan menyusuri sepanjang jalan seperti arak-arakan atau pawai. Kesenian Sunda seperti ini biasa disebut sebagai seni helaran, antara lain: ada yang berangkatnya dari suatu tempat dan kemudian berkeliling menyusuri jalan dan kembali ke tempat semula, seperti halnya sisingaan yang digunakan sebagai sarana upacara adat khitanan; dan ada juga yang berangkatnya dari sawah atau ladang dan kemudian menyusuri jalan menuju ke tempat penyimpanan padi, seperti kesenian rengkong sebagai sarana upacara adat ngakut pare atau mengangkut padi.
Sarana upacara
Keanekaragaman kesenian Sunda sebagai sarana upacara adat bisa juga ditinjau berdasarkan peristiwanya. Pertama dalam fenomena ritus budaya agraris atau pertanian seperti tarawangsa, dan pastoral, atau penggembala dan peternakan seperti pesta dadung. Kedua, dalam fenomena lingkaran kehidupan manusia antara lain: keanekaragaman kesenian yang berkaitan dengan peristiwa khitanan seperti kuda renggong, berkaitan dengan peristiwa perkawinan seperti parebut seeng, dan berkaitan dengan peristiwa mengusir wabah penyakit seperti berokan.
Selain itu, ada keanekaragaman kesenian sebagai sarana hiburan atau kalangenan bisa ditinjau berdasarkan derajat sosial pelakunya, antara lain: tradisi hiburan di masa lalu bagi kalangan menak atau bangsawan dan keluarga keraton yang disebut tayuban, dan bagi kalangan rakyat biasa yang disebut ketuk tilu. Sedangkan keanekaragaman kesenian Sunda sebagai seni pertunjukan dapat ditinjau berdasarkan bentuk penyajiannya:
Pertama, kesenian yang disebut drama atau teater, terdiri dari teater boneka atau pelakunya berwujud boneka seperti halnya wayang golek, wayang cepak, dan wayang kulit, serta teater manusia atau para pelakunya manusia seperti longser, sandiwara, ubrug, dan banyet.
Kedua ialah keanekaragaman kesenian yang disebut karawitan, terdiri dari karawitan sekar atau nyanyian seperti beluk dan cigawiran, karawitan gendingan atau instrumentalia seperti kendang penca, degung, dan gembyung, serta karawitan sekar gending seperti tembang, kiliningan, dan terbangan. Adapun yang ketiga ialah keanekaragaman kesenian yang disebut tari, terdiri dari pertunjukan dramatari seperti wayang topeng atau wayang wong Cirebon, wayang wong Priangan, dan beberapa macam sendratari seperti sendratari Lutung Kasarung dan sendratari Ramayana. Selain itu ada keanekaragamannya dari pertunjukan tari-tarian seperti dari tarian topeng Cirebon, tarian rakyat, tarian pencak silat, tarian keurseus, tarian wayang, serta tari-tarian karya R. Tjetje Somantri dan tarian Jaipongan karya Gugum Gumbira.
Paparan mengenai kekayaan dan keanekaragaman kesenian Sunda yang dikemukakan di atas, hanyalah sekadar contohnya saja. Berdasarkan buku tentang Laporan Data Jenis dan Organisasi Kesenian Provinsi Jawa Barat Tahun 1981-1982 yang diterbitkan oleh Projek Pengembangan Kesenian Sunda, Kanwil. Dep. Dikbud. Provinsi Jawa Barat, bahwa kekayaan dan keanekaragaman kesenian Sunda tertulis sebanyak 107 jenis kesenian (1982: i). Oleh karena itu, bisa saja kekayaan dan keanekaragaman kesenian Sunda khas Cirebon dan khas Priangan di masa kini, terjadi penyusutan atau bertambah banyak. Bahkan, tidak menutup kemungkinan ada kesenian di habitatnya sudah punah, tetapi di luar habitatnya atau di daerah lain malah tumbuh dalam kondisi yang baik.
Dengan demikian, amat penting dan ditunggu dengan segera adanya pihak-pihak yang kompeten untuk menerbitkan hasil pendataan dan sekaligus pemetaan daerah habitatnya atau yang menjadi penyangga kesenian Sunda. Sehingga akan memudahkan dalam membantu siapa saja yang berkepentingan untuk melakukan studi, penelitian, kunjungan wisata, dan lain-lain. (Penulis, staf pengajar STSI Bandung)**
Sunda berasal dari kata Su = Bagus/ Baik, segala sesuatu yang mengandung unsur kebaikan, orang
Sunda diyakini memiliki etos/ watak/ karakter Kasundaan sebagai jalan
menuju keutamaan hidup. Watak / karakter Sunda yang dimaksud adalah cageur
(sehat), bageur (baik), bener (benar), singer (mawas diri), dan pinter
(pandai/ cerdas) yang sudah dijalankan sejak jaman Salaka Nagara sampai ke
Pakuan Pajajaran, telah membawa kemakmuran dan kesejahteraan lebih dari 1000
tahun.
Sunda
merupakan kebudayaan masyarakat yang tinggal di wilayah barat pulau Jawa namun
dengan berjalannya waktu telah tersebar ke berbagai penjuru dunia. Sebagai suatu suku, bangsa Sunda merupakan cikal bakal
berdirinya peradaban di Nusantara, di mulai dengan berdirinya kerajaan tertua
di Indonesia,
yakni Kerajaan Salakanagara dan Tarumanegara. Sejak dari awal hingga
kini, budaya Sunda terbentuk sebagai satu budaya luhur di Indonesia.
Namun, modernisasi dan masuknya budaya barat lambat laun mengikis keluhuran
budaya Sunda, yang membentuk etos dan watak manusia Sunda.
Makna
kata Sunda sangat luhur, yakni cahaya, cemerlang, putih, atau bersih. Makna
kata Sunda itu tidak hanya ditampilkan dalam penampilan, tapi juga
didalami dalam hati. Karena itu, orang Sunda yang 'nyunda' perlu memiliki
hati yang luhur pula. Itulah yang perlu dipahami bila mencintai, sekaligus
bangga terhadap budaya Sunda yang dimilikinya.
Setiap bangsa memiliki etos, kultur, dan budaya yang berbeda.
Namun tidaklah heran jika ada bangsa yang berhasrat menanamkan etos budayanya
kepada bangsa lain. Karena beranggapan, bahwa etos dan kultur budaya memiliki
kelebihan. Kecenderungan ini terlihat pada etos dan kultur budaya bangsa
kita, karena dalam beberapa dekade telah terimbas oleh budaya bangsa lain.
Arus modernisasi menggempur budaya nasional yang menjadi jati diri bangsa.
Budaya nasional kini terlihat sangat kuno, bahkan ada generasi muda yang malu
mempelajarinya. Kemampuan menguasai kesenian tradisional dianggap tak
bermanfaat. Rasa bangsa kian terkikis, karena budaya bangsa lain lebih
terlihat menyilaukan. Kondisi memprihatinkan ini juga terjadi pada budaya
Sunda, sehingga orang Sunda kehilangan jati dirinya.
Untuk menghadapi keterpurukan kebudayaan Sunda, ada baiknya kita
melangkah ke belakang dulu. Mempelajari, dan mengumpulkan pasir mutiara yang
berserakan selama ini. Banyak petuah bijak dan khazanah ucapan nenek moyang
jadi berkarat, akibat tidak pernah tersentuh pemiliknya. Hal ini disebabkan
keengganan untuk mempelajari dengan seksama, bahkan mereka beranggapan
ketinggalan zaman. Bila dipelajari, sebenarnya pancaran etika moral Sunda
memiliki khazanah hikmah yang luar biasa. Hal itu terproyeksikan lewat
tradisinya. Karena itu, marilah kita kenali kembali, dan menguak beberapa
butir peninggalan nenek moyang Sunda yang hampir.
Ada beberapa etos atau watak dalam budaya Sunda
tentang satu jalan menuju keutamaan hidup. Selain itu, etos dan watak Sunda
juga dapat menjadi bekal keselamatan dalam mengarungi kehidupan di dunia ini.
Etos dan watak Sunda itu ada lima,
yakni cageur, bageur, bener, singer, dan pinter yang sudah lahir sekitar
jaman Salakanagara dan Tarumanagara. Ada
bentuk lain ucapan sesepuh Sunda yang lahir pada abad tersebut. Lima kata itu diyakini
mampu menghadapi keterpurukan akibat penjajahan pada zaman itu. Coba kita
resapi pelita kehidupan lewat lima
kata itu. Semua ini sebagai dasar utama urang Sunda yang hidupnya harus
'nyunda', termasuk para pemimpin bangsa.
Cara meresapinya dengan memahami artinya. Cageur, yakni harus
sehat jasmani dan rohani, sehat berpikir, sehat berpendapat, sehat lahir dan
batin, sehat moral, sehat berbuat dan bertindak, sehat berprasangka atau
menjauhkan sifat suudzonisme. Bageur yaitu baik hati, sayang kepada sesama,
banyak memberi pendapat dan kaidah moril terpuji ataupun materi, tidak pelit,
tidak emosional, baik hati, penolong dan ikhlas menjalankan serta
mengamalkan, bukan hanya dibaca atau diucapkan saja. Bener yaitu tidak
bohong, tidak asal-asalan dalam mengerjakan tugas pekerjaan, amanah, lurus
menjalankan agama, benar dalam memimpin, berdagang, tidak memalsu atau
mengurangi timbangan, dan tidak merusak alam. Singer, yaitu penuh mawas diri
bukan was-was, mengerti pada setiap tugas, mendahulukan orang lain sebelum
pribadi, pandai menghargai pendapat yang lain, penuh kasih sayang, tidak
cepat marah jika dikritik tetapi diresapi makna esensinya. Pinter, yaitu
pandai ilmu dunia dan akhirat, mengerti ilmu agama sampai ke dasarnya, luas
jangkauan ilmu dunia dan akhirat walau berbeda keyakinan, pandai menyesuaikan
diri dengan sesama, pandai mengemukakan dan membereskan masalah pelik dengan
bijaksana, dan tidak merasa pintar sendiri sambil menyudutkan orang lain.
|
Nama : Ajeng
Setyarini
Kelas : XII.IPS 1
Jl. H. Jampang No. 91, Jatimulya, Pondok Timur-Bekasi Timur,
Jawa Barat
Telp.
(021) 8260 6803-5, Fax. (021) 8260 6803
Tidak ada komentar:
Posting Komentar